Jika diibaratkan dengan sebuah benda, Sarla Anjani meyakini dirinya adalah sebuah perangko untuk Dirga. Saat di sekolah, Sarla selalu menempel pada Dirga, bukan menempel dalam artian sebenarnya, namun menempel dari jarak jauh, secara sembunyi dan hati-hati agar tak ketahuan. Lain hal dengan Dirgantara Algani yang meyakini bahwa Diandra Sakia adalah pusatnya, titik hidupnya yang selalu ia impikan, walau nyatanya, ekspektasi itu hancur, menorehkan luka yang tak dapat ia terima. Mengharuskannya untuk segera mencari cara agar luka itu reda dan tidak menghujam semakin dalam. Hingga satu pilihan membawa Sarla pada sosok yang selalu menjadi ilusinya, seorang Dirgantara Algani dengan lingkar belenggu yang senantiasa menunggu kehadiran umpannya.