Satu pertemuan. Dua presensi. Tiga kepura-puraan yang mengadiksi.
Dirga menginginkan tempat di mana ia bisa berlari dari perasaan yang tidak terucapkan selama bertahun-tahun pada sahabatnya sedari kecil. Ia ingin berlari. Jauh. Hingga perasaan itu hilang meredam. Hingga ia tidak perlu merasakan perasaan brengsek yang menginvasi lajur logikanya. Tetapi gadis penghuni kamar di seberang kamarnya membuat Dirga kembali mempertanyakan kewarasan otaknya.
Kanaya menginginkan sebuah kebenaran dari orang yang selama ini menjadi tempatnya berdependensi. Kejujuran kadang tidak manis, ia tahu. Terutama setelah mengetahui bahwa tunangannya tidak benar-benar merasakan perasaan yang sama dengannya. Bahwa semuanya bohong. Bahwa semuanya omong kosong. Tetapi kehadiran pemuda yang menghuni kamar seberang membuatnya berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.