Bukan pada sehelai kertas memang, namun sebait puisi telah kusemat pada lembaran hatimu. Jauh hari sebelum sapa melilit tanya-tanya rindu tanpa titik. Kusauk air tujuh estuari menjadi tinta, lalu kupetik kembang-kembang di atas lima benua; menguntainya pada bait-bait, yang kelak menjelma di puncak kasih antara kita. Di bawah kaki senja, kala penatmu bersandar manja pada bahuku. Begitu juga aku, menyeka ampas hari pada bidang dadamu. Kuucap, "Aku tak mau lagi meneguk romantisme susu fantasi, sebab akar rindu kian menancap di bumi." Akhirnya, dalam desahan napas panjang, kau sibak rambutku. "Sayang, tidakkah imajinasi sebab saat ini kita mengukir hari pada lidah waktu yang tersisa?" Laksana sepasang terompah yang tengah menapaki kepulauan debu. Kadangkala terpuruk dalam kubangan lumpur, lalu menjejak pada gersangnya kerikil di matamu. Wujud untaian kesetiaan terlahir dari janin penuh cinta, berselancar dalam segenggam damai, kau juga aku. Dulu.All Rights Reserved
1 part