Aku telah sampai di ujung kebahagiaan. Tapi mengapa air mata ini terus mengalir di saat yang seharusnya aku tersenyum kepada dunia?
Kuputar tubuhku di depan kaca besar. Sehingga yang kulihat hanyalah gadis kecil yang kini telah dewasa. Gadis kecil yang selalu manja, kini telah menemukan pelabuhannya.
"Sudah ditunggu, Mbak."
"Oh, iya." Jawabku. Aku sedikit gelagapan. Dengan segera, kusematkan telapak kakiku pada sepatu keemasan di sampingku. Wanita paruh baya itu memberiku sebuket bunga yang telah dikemas rapi. Kuterima dengan sepenuh hati. Dengan cinta yang membara seperti saat ini...
Langkah kakiku berjalan lamban menyusuri sepanjang permadani merah. Jantungku berdegub tak beraturan. Napasku sesak dengan pakaian yang dengan kasar membekap dadaku. Menyulitkan paru-paruku untuk menyedot oksigen.
Dapat kulihat, riuh orang-orang yang seketika membuncah ketika batang hidungku telah sampai ditangkap mata. Suara tepuk tangan yang berkali-kali mengetuk gendang telingaku.
Kulihat Ibu telah berdiri di sudut ruangan. Menyaksikanku dengan sekaan air mata yang membanjiri kelopak matanya. Seketika air mataku ingin meretakkan dinding pertahanan yang tak dapat lagi membendungnya.
Dahulu, aku hanyalah sebuntal daging yang butuh kasih sayang Ibu. Aku hanya seorang anak kecil yang menangis bila tak ada di sampingmu. Dahulu aku hanya gadis remaja yang tak tahu arah dan tujuanku. Namun kini, aku akan pergi, Ibu. Menuju pelabuhan yang telah menantiku.
Aku duduk dengan susah payah di samping pria itu, yang telah menyambutku dengan senyuman-senyuman hangat. Kuraih jemari tangannya, dan kujamahkan dengan keningku yang tertutup oleh make up yang tebal.
"Sudah siap, Saudari Jingga?" ucap sesosok berpeci di hadapanku. Dengan tanpa ragu-ragu, aku mengangguk.
"Baik, saudara mempelai pria, mohon untuk bisa menirukan perkataan saya."
Pandanganku tak luput memerhatikan Ibu yang terus mengusapkan sehelai tisu pada kelopak matanya. Jangan menangis, Ibu, aku tetap gadis kecilmu yang dulu.