Tumpukan naskah, nota-nota pembelian, berkas-berkas yang mesti di filing, surat-menyurat, sepertinya tidak pernah surut dari meja kerjaku. Ukuran meja kerjaku padahal sudah bertambah. Aku sengaja minta bagian perlengkapan menukar meja yang lama dengan yang baru yang ukurannya lebih besar. Tetap saja hanya menyisakan sedikit ruang untuk laptop, untuk kedua tanganku menggeletak, dan tempat cangkir kopi serta penganan kecilku. Dua smartphone tidak punya tempat khusus. Mereka bisa bergeser-geser tergantung tanganku memindahkan. Entah sudah berapa kali nada masuk bbm serta whatsapp-ku berbunyi. Semuanya jalur pribadi. Hanya kutengok apa isinya dengan membaca sekilas. Kalau darurat segera aku balas, namun jika hanya untuk sapa-sapaan aku diamkan. Bunyi krik-krik-krik terdengar. Aku hanya bisa menghela nafas setiap mendengar bunyi ini. Seharian ini, bunyi "krik-krik" sudah tak bisa kuhitung lagi. Itu Sabiha, teman medsos yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami berkenalan ketika bertemu di forum penulisan beberapa bulan lalu. Kala itu, aku mendampingi Kamidhia Retnasih yang sedang memberikan presentasi tentang dunia tulis-menulis. Bagaimana muasalnya, aku tidak tahu, tiba-tiba saja Midha mengajakku naik panggung dan diminta menemaninya presentasi. Tidak biasa memang. Sudah lama aku bekerja di agensi Midha. Dia penulis cerpen, novel, drama, skenario film maupun sinetron, pembicara dunia kepenulisan juga penyambung lidah ke penerbit-penerbit buku dan media. Karena bergaul dengannya, banyak berdiskusi dengannya, aku ketularan menulis. Midha pun memberikan aku kesempatan untuk menerbitkan tulisan-tulisanku yang kutulis di kala waktuku senggang. Aku heran dengan Sabiha. Orang lain biasanya mengejar Midha, tapi dia justru terus-menerus menghubungiku, minta waktuku untuk meladeni keingintahuannya mengenai tulisan dan penulisan. Jadilah sejak itu Sabiha sering mengontak aku via bbm maupun whatsapp. Aku pun menurutinya. Lagian gadis ini cantik dan menarik.