Entah mengapa aku merasa tertarik dengan pria dewasa (30+). Mereka bilang seleraku terhadap pria kurang menarik. Selera tua mereka menyebutnya.
Bagiku, pria tampan adalah pria kebapakan, tinggi besar, berjenggot, bersih, berkharisma, dan berwibawa. Semakin membuatku terpesona jika ia memiliki beckground agama yang amat baik, dan berpendidikan tinggi. Entah bagaimana mengungkapkannya, cinta begitu saja muncul dari cara berbicara, penampilan, dan sikap.
Sul'an, salah satu dosen Universitas terkemuka di Jawa Timur, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, mata kuliah Phonology. Dialah pria pertama yang membuatku terpesona dengan suara, kecerdasan, dan cara dia mengajar. Aku selalu menantikan jadwal pak Sul'an mengajar yaitu pada hari Rabu jam 3 sore di lantai 2 gedung mahasiswa Bahasa Inggris. Betapa kharisma dan praupannya mampu memikat hatiku barang dalam satu jam saja. Tak pernah aku absen dalam kelasnya. Tak pernah juga aq lupa apa yang ia sampaikan dikelas walau kusambi memandanginya.
[Semua yang ada di dalam cerita ini hanyalah fiktif dan karangan penulis. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan sebagainya, itu murni kebetulan semata. Terima kasih dan selamat membaca.]
Empat tahun. Delapan semester. Selama itu juga foto Adrian Noval Ubaid-sang Pangeran Kampus-jadi satu-satunya wallpaper di ponselku.
Dia? Bak dewa di antara manusia yang mustahil untuk digapai. Ceilah.
Aku? Apalah aku, spesies remahan rengginang yang cuma berani mengaguminya dari alam gaib.
Aku pikir, kisah cinta dalam diam ini bakal berakhir basi begitu kami sama-sama lulus. Ternyata, takdir punya selera humor yang aneh.
Takdir yang justru menyeret aku ke dalam drama paling absurd: antara saingan yang speknya bidadari, dosen yang perhatiannya bikin merinding disko, dan sebuah pertemuan kembali yang nggak pernah ada di dalam skenario mimpi terliarku sekalipun.
Satu pertanyaan yang menghantui dan membayangiku adalah- di tengah-tengah semua kekacauan dan drama ajaib yang aku alami, apakah cinta pertama yang ku perjuangkan mati-matian ini adalah takdir termanis milikku, atau justru lelucon paling sadis dari alam semesta?