33 Partes Continúa Kata orang, mahasiswa adalah suara perubahan. Mereka yang berdiri di garis depan, berteriak di jalanan, menuntut keadilan yang kian memudar. Mereka yang tak takut pada pentungan aparat, gas air mata, atau stigma "pemberontak" yang dilekatkan pada mereka.
Namun, tidak semua orang bisa turun ke jalan.
Lara adalah salah satunya.
Mahasiswi matematika yang lebih akrab dengan angka-angka dibanding orasi di tengah terik. Namun, meskipun kakinya tak melangkah ke barisan demonstran, pikirannya tak bisa diam. Ada sesuatu yang harus ia suarakan. Sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Ia memilih cara lain.
Dengan kata-kata, Lara menciptakan senjatanya sendiri. Puisi-puisi yang ia tulis bukan sekadar untaian kalimat indah, melainkan suara perlawanan. Kritik yang tajam, menusuk ke pusat kekuasaan yang korup.
Awalnya, ia hanya ingin berbicara. Tapi kata-katanya ternyata bergema lebih jauh dari yang ia bayangkan. Akunnya, Lar24merdeka, mendadak menjadi pusat perhatian. Ada yang mendukung, tetapi lebih banyak yang membenci. Para buzzer menyerangnya, melaporkan akun-akunnya hingga terhapus. Namun, itu bukan yang paling ia takuti.
Yang membuatnya ragu adalah keluarganya.
Orang tuanya takut. Mereka mengingat masa lalu yang kelam, tentang para aktivis yang "dihilangkan" tanpa jejak. Mereka tak ingin Lara menjadi bagian dari sejarah yang sama.
Di satu sisi, Lara ingin menjadi anak yang baik, yang tidak membuat keluarganya khawatir. Tapi di sisi lain, bagaimana mungkin ia diam ketika melihat negaranya perlahan runtuh?
Kini, ia berdiri di persimpangan.
Haruskah ia berhenti menulis dan menjalani hidupnya seperti mahasiswa biasa?
Atau terus bersuara meskipun ia tahu risikonya semakin besar?
Jawaban itu belum ia temukan.
Yang ia tahu, diam bukan pilihan yang mudah.