Tak seindah Purnama "Sesungguhnya dalam perjalanan usiaku hingga aku bertengger di angka 44 itu... ada banyak kenangan manis datang dan pergi dalam kehidupanku." "Aku tertarik menyimakmu. Kenangan apa itu? Tentang hati,..tentang cinta?" "Ya, benar. Cinta yang membuatku semakin teguh dalam mengarungi hidup..." "Katakan padaku, siapa yang beruntung menempati hatimu, hingga di perjalanan waktu ia tak pernah hilang dari ingatanmu?" "Ia? Bukan ia... tapi mereka..." "Ia elang di masa remaja hingga dewasaku. Aku mencintanya tanpa pernah ia tahu. Aku menangis saat pernikahan menjemputnya..." "Setelah itu?" "Ia purnama belahan hatiku. Keteduhannya menaklukan keangkuhanku, hingga lahir anak-anakku." "Siapa setelah itu?" "Bulan sabit... hadir saat purnama menerangiku. Semburat cahayanya menerangi kelamnya hatiku. Dialah sebentuk nama yang melambungkan diriku menjadi seorang penulis..." "Oh, ya? Lantas.,,?" "Purnama tetap cahaya terindah dalam hatiku. Hingga tiba waktu yang menggelontorkan air mataku. Purnama terbenam untuk selamanya..." "Aku sedih mendengar itu..." "Aku berjalan seorang diri. Aku bersandar pada sebatang pohon saat tiba-tiba bulir embun menetes dari pucuk daun..." "Embun?" "Ya... embun bening yang mengingatkanku pada sosok teduh elangku, pun purnamaku..." "Kau pecinta hening?" "Ya." "Bagaimana bulan sabit?" "Tidak." "Katakan lagi padaku, seberapa dalam kau mencinta embun?" "Embun tak layak kucintai, sebab ia pria beristri." "Kau masih terus mengingatnya hingga kini?" "Sekarang tidak. Sejak surya hadir dan menemaniku bicara." "Surya... dan kau jatuh hati padanya?" "Tidak." "Boleh kutahu siapa sosok surya itu?" Aku tersenyum. "Kau tak tahu siapa surya itu?" Ia menggeleng. "Surya itu adalah kamu." *** Surya tak pernah berlalu, hingga melintas desah sang bayu. Kepadaku ia katakan hasrat mulia itu. Tapi aku tak bisa. Entah mengapa, selalu saja aku terkenang Purnama.. (Novel "Tak Seindah Purnama")