Tidak ada yang bisa tidur pulas, semuanya selalu waspada dengan keadaan mereka. Belum pernah ada yang mendapat pendidikan yang baik, anak-anak hanya diajari membaca, menulis, dan berhitung. Mencari air bersih pun harus menempuh jarak sejauh 5 kilometer dan hanya dapat dtempuh dengan berjalan kaki. Tidak ada kendaraan yang berani melewat. Selama bertahun-tahun, kehidupan di daerah perbatasan tidak pernah berubah, jarang sekali ada waktu untuk masyarakat berkumpul. Sesekali kegiatan mereka diselingi oleh suara tembakkan.
Meskipun sudah dinyatakan merdeka sejak satu dekade lalu, para penjajah belum pernah meninggalkan tempat itu. Hampir belum ada penduduk di daerah itu yang pernah merasakan kemerdekaan, membayangkannya saja tidak pernah sampai, karena selalu terganggu oleh suara-suara tembakkan.
Hingga pada saat sang ketua di daerah itu mengumpulkan sebagian warga laki-laki. Sang ketua menginginkan para penduduk dapat memperingati hari kemerdekaan negaranya yang kesepuluh. Meskipun tidak ada yang tahu kapan hari kemerdekaan sebenarnya. Sang ketua menganggap bahwa hari kemerdekaan jatuh pada tujuh hari setelah dikumpulkannya para warga.
Sehari setelah bermusyawarah, para warga laki-laki mulai mempersiapkan semuanya. Beberapa jam kemudian datang para tentara yang bertugas di perbatasan. Dari salah satu tentara, mereka baru mengetahui bahwa hari kemerdekaan sebenarnya jatuh pada esok harinya.
Akhirnya dengan bantuan para tentara, mereka selesai mempersiapkan segala hal. Tidak ada yang memiliki bendera di daerah itu, sehingga para ibu-ibu menjahitnya sendiri. Tidak ada pasukan paduan suara di situ, sehingga beberapa tentara mengajari anak-anak di sana menyanyikan lagu kebangsaan.
Semuanya melakukan upacara pengibaran bendera merah putih dengan khidmat. Meskipun hanya bendera merah putih yang baru kemarin dijahit, tiang dari bambu yang masih basah, dan padang rumput di dekat pemukiman warga. Hari itu, merupakan hari kemerdekaan sesungguhnya bagi penduduk disana.
π«[SEQUEL PEJUANG SEPERTIGA MALAM]π«
Kehidupan di dunia ini ibaratkan air laut yang pasang surut. Kesedihan bisa saja datang kapan saja, namun kebahagiaan juga dapat menghampiri secara tiba-tiba.
Oleh karena itu, hiduplah sesuai dengan narasi Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jangan terlena dengan rasa bahagia yang datang, namun juga jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Tetaplah bersyukur dan berdoa atas apa yang telah terjadi.
Dalam ajaran Islam pun, setiap manusia diajarkan untuk senantiasa berusaha serta berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebab, Allah lah yang menentukan, sementara manusia hanya dapat merencanakan.
Saat sedang dalam keadaan sulit, wajar saja jika kita merasakan kesedihan atau putus asa. Namun, tentu lebih baik jika perasaan itu hanya sesaat saja. Kita pun harus berusaha untuk bangkit kembali menghadapi realita yang ada.
Sya'ir ini hanya untuk pengingat diri, bukan untuk menjerumuskan orang yang kamu sukai ke dalam lingkaran halusinasi.
- Zubair Hanan Al-Fatih -
Start: 20 Oktober 24
End: 23 Desember 24