"Kriiiiiiiiiiing..."
"Kriiiiiiiiiiing..."
"Kriiiiiiiiiiing..."
Di tengah kecaman malam, di sudut kantor berlapis karpet, serangan bertubi dering telepon itu kian menyiksa telinga milik seorang pria paruh baya. Bagai anak panah - anak panah tajam, suara-suara itu pun menghunus tepat ke otaknya, menusuk, lalu mengukir kalimat-kalimat penyesalan, merambat turun menuju hati, menikam, menanam berbagai perasaan bersalah yang tak sedikit. Kedua matanya memerah, perih oleh air mata, sesak oleh kantuk. Bagaimana tidak, sejak kemarin ia tidak tidur, ia terpaksa menuntun mulutnya untuk selalu berucap, lalu berbusa.
"Kami mohon maaf, pencarian dan penyelamatan segera diusahakan ..."
"Kami mohon maaf, semua berada di luar dugaan, ..."
Serta berbagai permohonan maaf lainnya. Sejak kemarin pula langkahnya berjalan mondar-mandir, ke kanan, ke kiri, bagai hilang arah. Dirinya yang terbujur lemas lantas sedikit tersentak oleh suara pintu yang terbuka.
"Bapak! Tidurlah cepat! Kau hanya menyiksa diri!"
"Bagaimana saya bisa tidur sedangkan para 34 relawan kini sedang berusaha melawan ajal?!"
[tolong hargai cerita yang Lena buat dengan cara memberikan vote dan komen. Jangan copy, mikirin alur tidak semudah itu.]
Archio, bocah 12 tahun yang memiliki rupa yang begitu indah.
***
Byur
"Huh~ tolong!!"
"Tolongin Cio!!"
Entahlah, setelah dia terjatuh dari genangan air di tengah-tengah rerumputan, dia tiba-tiba saja berada di sebuah danau kecil.