Sejak merasa tahu tentang hidup, saya selalu menyadari adanya ketakberdayaan manusia di dalam mencucuki hidupnya. Saya juga setuju dengan Buddha bahwa hidup ini hanya upaya untuk menyiasati penderitaan. Seperti kata Budi Darma, manusia itu selalu tersuruk-suruk sepanjang hidupnya. Konon sejak awal mula manusia itu cenderung mengukir perseteruan. Tuhan, yang entah tunggal atau jamak, menciptakan manusia untuk menemani-Nya. Seandainya Dia berharap pada kebahagiaan, mestinya tidak perlu menciptakan pohon pengetahuan. Pohon itu telah menjadi bumerang dalam penciptaan. Ataukah hal itu hanya menjadi upaya penulis kitab suci bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada manusia?
Cerita-cerita saya selalu berakhir di keterpurukan. Manusia tidak pernah berada dalam kondisi yang sungguh-sungguh nyaman, bahkan sewaktu tidur. Sekali lagi, saya setuju dengan Budi Darma bahwa cerita itu suatu bentuk realisme dalam dunianya. Maksudnya, cerita merupakan realitas, sejauh dibaca dengan logika bahasa. Saya menyukai cerita-cerita panjang, sebab selalu menemukan imaji, simbol, realisme yang tak nyata, juga banyak nilai hidup. Namun, saya tidak suka menyusun cerita yang panjang. Dalam keinstanan, saya menyuguhkan "sesuatu" yang barangkali mengendap di alam bawah sadar, terselip di antara mimpi-mimpi atau tersamar dalam lipatan ingatan. Sadar atau tidak sadar kita sudah lama hidup dalam dunia yang menakjubkan, juga memabukkan.