[SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Samantha menjalani hidupnya bagai di negeri dongeng. Ia menikah dengan teman sekolahnya, William, dan hidup bahagia meski tidak dikaruniai anak.
Dunianya serasa runtuh saat sang suami divonis mengidap kanker mematikan, yang mengharuskan William untuk segera memperoleh keturunan sebelum terlambat. William tak mampu. Dan hanya ada satu cara untuk mewujudkannya.
"Apa yang kamu minta dariku, adalah mustahil." Bisik Samantha ketakutan.
"Sam...hanya ini satu-satunya cara. Wasiat Ayahku sudah jelas. Perusahaan yang ia tinggalkan ini, semua kerja keras yang kubangun dari puing-puing sejak Ayah meninggal ini, hanya akan jatuh padaku, anak-anakku, atau Hansel sepupuku. Kita sama-sama tahu bagaimana bajingannya sepupuku itu."
"Dengan segala hormat, Liam, dia sama bajingannya dengan Kakakmu--yang kamu minta untuk menghamili aku."
"Sam..." William menunduk penuh rasa bersalah. Namun tak sedikit pun ia mengurungkan niatnya. "Aku tidak akan memintamu melakukan ini kalau saja aku punya pilihan lain. Kakakku, adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan aku. Kami sedarah dan setelah semuanya usai, anak itu akan menjadi milik kita, darah daging kita, hak waris kita yang sah. Tidak akan ada yang tahu soal ini selain kita bertiga."
"Aku yakin bajingan itu tidak akan setuju dengan ide sintingmu."
Liam tersenyum tipis. "Namanya Ralf. Dan dia tidak sepenuhnya bajingan. Lagipula, Sam, keputusan ini mutlak ada di tanganmu."
***
[Sebagian besar bab sudah dihapus, versi lengkap bisa dibaca di karyakarsa.com]
Bagi Ayas, Nara si pengangguran tersibuk di dunia itu adalah sosok perfect boyfriend yang sesungguhnya. Selama hampir lima tahun menjalin hubungan dengan IT programmer/Fotografer/Pemain Teater itu Ayas selalu yakin bahwa Nara adalah pemilik tulang rusuknya. Meski hanya menanggapi dengan tawa setiap kali disinggung soal pernikahan, Ayas sepenuhnya yakin bahwa suatu hari nanti Nara akan melamarnya dengan cincin dari platina. Namun semuanya berubah dalam satu malam.
Dalam kondisi setengah sadar karena demam tinggi, Nara memanggil nama seorang perempuan. Nadanya sedih, memelas, memohon, dan syarat ketakutan akan kehilangan. Dari cara Nara memanggilnya, semua orang akan tahu betapa pemilik nama itu adalah orang yang sangat spesial. Sayangnya, itu bukan nama Ayas.
Impian lamaran dengan cincin platina itu memang datang. Namun ternyata tak seindah yang dia bayangkan. Sebab Ayas mulai yakin, Nara menyimpan nama orang lain di hatinya.