"Hai, Mr.Thompson ..." sapa salah seorang
karyawan di sana.
"Oh, hai Pieter." balas Reza setelah ia pulih
dari keterkejutannya.
Karyawan yang bernama Pieter itu memandang kursi kosong di depan Reza, dan menyadari hal itu Reza tersenyum datar, sambil berujar "Carroline sedang berada di Chicago untuk mempersiapkan pernikahan kami." ujarnya menjelaskan.
Lalu, setelah ia menyelesaikan kalimatnya, Reza melihat kedua mata cokelat milik Pieter berkilat-kilat tidak percaya.
"Benarkah ? Jadi, kalian benar-benar akan
menikah?" tanyanya tidak percaya.
Secara reflek ia duduk di hadapan Reza, melupakan bahwa saat ini ia tengah bekerja. Ditatapnya wajah Reza dengan mata yang berbinar.
Pieter, merupakan karyawan di café ini, dia sudah lama bekerja di sini sehingga dia sangat mengenal semua pengunjung di sini. Dan Reza serta Carroline adalah salah satunya.
Reza mengendikkan bahu, "Ya begitulah, kenapa tidak? Tentu saja kami akan menikah." sahutnya pendek tak lupa ia melukis seulas senyuman di wajahnya untuk menyembunyikan keresahan yang ia rasakan.
Pieter menghela napas lega, lalu menyandarkan badannya pada sandaran kursi "Aku pikir kalian ada masalah dan sudah putus hubungan," katanya dengan wajah muram.
Reza sedikit terkejut mendengar ucapan Pieter, ditekannya kegusaran di hatinya lalu ia menatap Pieter dan menggumamkan sesuatu, "Hei, kami baik-baik saja. Kami bahkan nyaris tidak pernah bertengkar, kecuali berdebat. Jadi, bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu?"
Pieter tak segera menyahut, ia menatap
sudut ruangan, tempat di mana ia melihat Mella beberapa hari yang lalu, "Dsana." katanya pendek, sambil tetap menatap meja itu, membuat Reza menoleh ke belakang, mengikuti arah matanya. Menoleh pada meja yang merupakan tempat faforit Mella.
Dengan tatapan menerawang Pieter menggumamkan sesuatu yang tanpa sengaja membuat Reza terluka dan menambah keresahannya.
Pada waktu senja itu, di pinggir pantai, kehadiranmu meredam suara ombak. Rupanya, gemuruh itu beralih pada jantungku yang bertalu. Paras sempurna, serupa gadis dalam lukisan yang sempat kulihat tadi. Kulihat lagi lamat-lamat, seperti kemerahan senja yang berusaha kurekam dalam memori. Kendati demikian, senja tetap menyingsing, sinarnya melebur kepada malam. Tapi tidak dengan kamu. Kamu itu akan aku bawa pulang. Akan aku usahakan.
Namun, siapa yang sanggup menggenggam senja? Beranikah dia melawan kegagahan malam? Tapi tenang. Kamu akan aku bawa kabur. Kita akan lari, berlari sejauh yang kita bisa. Ya?