SDN ISOLA 1 Bandung berada tak jauh dari kampus UPI yang merupakan tempat Bapak mengemban ilmu. Siang itu tenggorokanku kering dan aku meratap lesu ke kantong baju seragam merah putihku yang kosong melompong. Aku bersiul riang dan berlari kecil keluar kelas. Sesekali aku menoleh ke ruang guru dan nampak sebuah punggung yang kurasa sangat kukenal lengkap dengan rambut sebahunya. Baru dua minggu aku, Mas Arief dan Ibu diboyong Bapak meninggalkan Magetan menuju hunian mungil yang harus diisi dengan keluarga kami ini di daerah Ledeng. Bagiku semua terasa indah dan baru tentunya. Dalam waktu dua minggu aku sudah menjadi bagian dari anak-anak sekitaran kos-kosan kami. Tak lain dan tak bukan semua berawal dari keinginanku untuk mengaji mendahului kakakku Mas Arief. Ya, Aku memiliki jiwa saing lebih dahsyat dibanding kakaku yang kalem dan "nerimo" Berbeda denganku yang sudah mempunyai geng sendiri. Mas Arief harus kembali jadi bahan bullyan di kelasnya, dipalak, disekap di WC, bahkan saking "nerimo"nya ia sempat dihukum gurunya mengerjakan soal matematika sampai seisi sekolah kosong plong. Guru aneh! "Kata guruku jangan pulang sampai bisa selesaikan soalnya di papan tulis" pengakuannya pada Ibu suatu ketika. Ibu memeluk dan hanya bisa mengelus dada setelah Ibu datang ke sekolah memberikan pelajaran bagi anak-anak nakal yang hobi minta uang saku kakakku itu. Semenjak itu aku mempunyai kebiasaan baru. "Melotot" kepada setiap kakak kelas pemalak yang hobi mondar-mandir cari mangsa secara halus. Kisah dramatis "nerimo" Mas Arief akan aku lanjutkan di cerita pendekku yang akan datang. Kampret memang kakak kelas pemalak itu.All Rights Reserved
1 part