“jadi, apa kau akan benar-benar kembali ke korea dihari pernikahanku?” tanya seorang gadis dengan suara parau-nya yang menyesakkan dada bagi siapapun yang mendengarnya.
“tentu saja liyana, indonesia bukanlah rumahku. Aku tak diterima dengan baik disini. Lagipula pernikahanmu dengan hendra tinggal menghitung jam lagi kan?” tanyaku kepada gadis bernama liyana, satu-satunya gadis indonesia yang mau menerima dan menampungku dirumah keluarganya di indonesia.
“tapi... aku tak ingin menikah dengannya, aku tiada sedikitpun mencintainya kakak. Bagaimanapun kau harus tetap disini, kau janji kan? kau takkan pernah meninggalkanku, kau akan terus berada disampingku.” Isak liyana sambil bersimpuh di kaki-ku.
Aku tak kuasa menahan haru. Satu persatu air bening itu meluncur turun membasahi pipiku yang terduduk lemas di kursi tamu rumah keluarga liyana. Air mata itu juga perlahan jatuh ke punggung liyana yang bersimpuh di kaki-ku hingga membasahi punggungnya. Ya, bagaimanapun juga aku harus kembali pulang ke seoul. Ini keputusanku. Aku tak ingin berlama-lama disini, aku tak ingin mendengar fitnah yang telah dibuat oleh orang-orang disini tentang aku dan liyana yang tidaklah bertalian darah namun tinggal dalam satu atap. Aku bisa merasakan bagaimana muaknya dilecehi dan dipandang sebelah mata disini. Oh iya, aku lee yong dae, dan inilah kisahku.
***********************
Namaku adalah lee yongdae. Aku seorang pria korea yang lahir dari rahim seorang ibu berdarah indonesia dan ayahku yang asli korea. Di korea, aku tak diterima sama sekali sebagai warga negara korea. Ayah dan ibuku telah lama bercerai sejak umurku 2 tahun. Dari yang kudengar dari ayahku, ibuku sekarang sudah pulang kembali ke indonesia dan menikah lagi disana. Aku hanya tinggal bersama ayahku yang kini lebih sering mengurung diri di kamar dan meratapi perpisahannya dengan ibu. Di korea, aku tak diterima sama sekali sebagai warga negara karena dianggap aku bukanlah keturunan murni orang korea karena lahir dari seorang ibu yang bukan berkebangsaan korea, itulah sebabnya ayahku menyuruhku untuk pergi ke indonesia agar aku bisa diakui sebagai warga negara indonesia sekaligus mencari keberadaan ibuku disana.
Tepat 2 tahun yang lalu aku menginjakkan kaki disebuah negeri khatulistiwa dimana surga dunia terletak disana. Indonesia. Negeri yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku berangkat dari korea menuju indonesia dengan berbekal “gambling”. Aku tak bisa berbahasa inggris dengan baik, aku juga bahkan tak bisa berbahasa indonesia yang notabene-nya adalah bahasa ibuku sendiri. Ketika pesawat korean airlines dengan nomor penerbangan KG1198 mendarat di bandara soekarno-hatta, aku merasa cemas. Ya, cemas. Cemas memikirkan cara bagaimana aku harus mencari ibuku setelah mendarat dari pesawat ini sedangkan aku tak membawa uang yang cukup untuk bertahan lama disini serta tak ada sanak saudara yang kukenal satupun. Sesampainya aku di indonesia aku seakan tak memiliki arah tujuan untuk tinggal. Kudorong tas koperku keluar dari terminal kedatangan luar negeri terminal 2A bandara soekarno hatta. Begitu banya supir taksi disana yang menawarkanku agar aku menumpangi taksi mereka sementara aku sedang dirundung kebingungan terhebat perihal kemana aku akan pergi setelah ini. disini terlalu ramai, aku memandang sekitarku dan entah darimana asalanya tiba tiba sebuah suzuki swift putih dengan plat B 9985 LLN itu menabrak tubuhku dan aku bahkan sempat tak sadarkan diri hampir 9 jam. Setelah aku sadarkan diri, kutemukan tubuhku terbaring disebuah kamar kelas 1 rumah sakit. Orang pertama yang kutemui bukanlah suster ataupun dokter, melainkan seorang gadis manis dengan potongan rambut cepak dan kaos kelonggaran yang begitu kebesaran ditubuhnya. Ia sadar bahwa aku sudah siuman. Aku terdiam. Aku hanya terdiam sambil memandang wajahnya, mengagumi setiap inci keindahan yang ada diwajahnya tanpa berpaling ataupun berkedip sedetikpun.