Bagian 1

19 1 0
                                    

*
Sebuah gubuk kayu berdiri kokoh diantara rerumputan yang dinaungi oleh pepohonan besar. Atap gubuk yang terbuat dari daun sagu, terlihat mulai lusuh dan berguguran. Suasana sejuk ditambah dengan hembusan angin, yang bertiup dari hulu sungai, menerpa dedaunan yang menghiasi pondok kayu tersebut.

          Hempasan angin di tepi sungai, menyibak rambut sepasang sejoli, yang duduk berdua di bibir sungai, tempat itu berada tidak jauh dari pondok kayu. Dua sejoli itu adalah pasangan yang baru enam bulan menikah. Ananto dan Firanda merupakan warga dari desa Sikakak yang tinggal dipinggiran sungai, yang jauh dari pemukiman.

        Dua sejoli itu termenung di tebing sungai yang penuh dengan rerumputan itu. Pikiran Firanda masih membekas peristiwa dua bulan yang lalu setelah mereka menikah, mereka bertekad meninggalkan rumah orang tua untuk berdikari. Mereka ingin mengarungi bahtera rumah tangga berdua.
"Anakku Firanda, duduklah disini dulu nak! ada yang ingin Ibu sampaikan" panggil Ibu sembari melambaikan tangannya.
Mendengar itu Firanda duduk di sebelah ibunya.
"Iya Bu, ada apa?" Tanya Firanda.
"Begini Nak besok kalian akan pindah, bawalah nanti piring agak dua, gelas dua, sendok, ceret, dan peralatan lain untuk memasak" ujar Ibu sambil mengelus bahu Firanda.
"Iya Bu, nanti kami akan bawa barang-barang yang dibutuhkan itu" jawab Firanda pelan. Ibu semakin mendekatkan kepalanya kearah Firanda yang mulai tertunduk sedih.
"Anakku, nanti ketika kau jauh dari Ibu dan Ayah, jangan lagi bertingkah seperti anak kecil, engkau sudah dewasa dan bersuami, ingatlah pesan Ibu ini Nak!!
Jika kau marah pada suamimu hari ini, maka sampaikan besok, jika suamimu menghela nafas panjang maka pijit lah bahunya, jika bibirnya nampak mulai kering segera sediakan air. Jangan tunggu sampai dia memerintah mu, datanglah sebelum dipanggil dan pergilah sebelum disuruh" Itulah pesan yang dibisikkan Ibu kepada Firanda empat bulan yang lalu.

        Lamunan Firanda tersadar karena Ananto menepuk bahunya.
"Ayo pulang, sudah sore nanti dimakan buaya" sahut Ananto sambil tersenyum.
"Ah aku tidak takut bang, orang tiap hari tinggal sama Buaya" jawab Firanda ringan sambil mencubit pinggang Ananto. Keduanya segera bergegas menuju pondok kayu tempat mereka tinggal.
 
**
Kehidupan kedua sejoli ini begitu bahagia, meskipun hidup dengan kesederhanaan. Gubuk kayu ukuran dua kali tiga meter itu, sudah cukup menghadirkan kehangatan bagi keduanya.

Setiap subuh setelah menunaikan Sholat Firanda sudah bergegas ke sudut gubuk yang mereka sebut sebagai dapur. Disana sudah tersedia kayu bakar, lengkap dengan tungku masak yang terbuat dari pokok pandan, Firanda memulai memasak dengan membakar karet yang diambilnya kemaren, karet itu ia dapatkan dari pokok yang tidak jauh dari pondok. Sementara Ananto beranjak ke sungai untuk melihat Pangilagh (alat penangkap ikan yang terbuat dari rotan) dan Sero (Alat penangkap ikan dari bambu yang disusun dan diikat rotan).

Sepulangnya dari sungai Ananto telah membawa hasil tangkapannya, biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, sisanya akan dijual Firanda ke pasar.  Setelah makan pagi, Ananto bersiap berangkat sebelum fajar menyapa, lelaki berbadan kekar ini bekerja sebagai buru angkat batu, dengan upah sepuluh ribu per kubiknya. Ananto bekerja dengan perahu kayu, yang setiap hari ia kayuh ke seberang sungai.

Setelah siang menjelang Ananto sudah menepi, untuk mengangkat hasil kerjanya. Dipinggir sungai ia mendapati istrinya Firanda sudah menunggu lengkap dengan rantang bawaannya. Sebuah senyuman manis menyambut lelaki bertubuh kekar dengan kumis tebal itu. Ananto segera mengikatkan perahunya dan mendekat kearah istrinya, Firanda lekas menggelar tikar pandan di tebing sungai itu.

Suasana siang itu cukup riuh karena ada beberapa orang teman kerja Ananto juga ikut makan siang disana. Selepas sholat Ananto kembali bekerja, sedangkan Firanda pulang kembali ke gubuknya yang berada tidak jauh dari tempat suaminya bekerja.

Sore sebelum adzan sholat ashar, Ananto sudah pulang ke gubuknya. Biasanya dia beristirahat sejenak, menunggu adzan ashar. Kemudian setelah selesai sholat suami Firanda ini akan turun ke sungai untuk memasang perangkap ikannya.
 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANG PEMBELAH KEPALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang