Aku menatap ke depan dengan tatapan kosong, sejauh mata memandang yang kulihat hanyalah orang–orang yang berjalan kaki, menikmati salju pertama turun, mereka terlihat bahagia, berbanding balik dengan aku yang terlihat seperti manusia menyedihkan, dan faktanya memang iya. Apalagi posisiku sekarang, duduk di bangku taman paling pojok, seorang diri, lengkap sudah.
Hawa dinging terus menusuk tubuhku hingga ke tulang, dan bodohnya, aku masih tetap memilih duduk di sini, untungnya, aku memakai jaket yang cukup membuat tubuhku hangat. Aku mengusap–ngusap kedua tanganku. Salju pertama di Seoul terlihat biasa saja bagiku. Tidak ada yang menarik, seperti hidupku.
“Dasar kamu anak gak berguna, nyesel saya punya anak kayak kamu!”
Lagi ...
Suara teriakan ibu masih meraung–raung di ingatanku, berputar bagai kaset rusak, aku juga tidak bisa melupakan tatapan matanya yang tajam, seolah–olah aku adalah sesuatu yang menjijikkan. Padahal jelas dunia tahu bahwa aku adalah darah dagingnya, putri yang katanya tidak berguna.
“Daripada menyusahkan orang lain, lebih baik kamu pergi, kemana pun, asal jangan lagi tinggal di rumah ini!”
“Jeha udah pergi, bu. Apa ibu bahagia sekarang?” pertanyaan bodoh, tentu saja ibu bahagia sekarang. Aku tersenyum getir.
Aku menatap langit malam yang bertaburan bintang sembari membayangkan wajah ibu. Aku hanya bisa mengingat wajahnya, tapi tidak bisa lagi mengingat senyuman indahnya, karena sejak lima tahun terakhir ibu tidak pernah tersenyum lagi padaku. Bahkan, menatap wajahku saja enggan. Namun, meski begitu, tidak pernah terbesit di hatiku untuk membenci. Kenapa? Tentu saja karena dia ibuku. Seburuk apa pun sikapnya padaku.
Setelah lima tahun terakhir, aku tidak pernah menyesali semuanya, apa yang terjadi, aku tidak pernah mengeluh, aku yakin, seberat apa pun hidupku sekarang, suatu hari nanti aku pasti menemukan titik terang, aku hanya perlu percaya bahwa Tuhan itu adil. Ketikdaksempurnaan ini membuatku belajar bagaimana arti bersyukur yang sesungguhanya, setidaknya Tuhan masih mengizinkanku memiliki sebelah kaki lagi. Setidaknya aku masih beruntung meski hanya memiliki satu kaki yang berfungsi, sedangkan banyak anak di luaran sana yang tidak memiliki kaki sama sekali. Dan hebatnya mereka bisa tersenyum hangat.
Ini semua hanya perihal rasa ikhlas dan bersyukur.
Lama aku duduk di taman, tidak terasa semua orang telah berlalu pergi, membuat suasana sekitarku bertambah sepi. Pada akhirnya hanya ada aku sekarang. Aku menghela napas saat melihat kebawah. Rok panjang yang kupakai cukup menutupi ketidaksempurnaanku. Dengan kaki ini, apa yang harus kulakukan, bagaimana caranya bisa menemukan rumah yang tepat, rumah yang kata mereka bisa menjadi penawar lelah setelah seharian bekerja? Di mana letak rumah itu? Aku ingin menemukannya, segera mungkin.
“Jeha kamu pasti bisa, ayo semangat dan jangan menyerah!” ucapku pada diri sendiri. Lalu dengan bersusah payah aku berdiri, kedua tanganku bertumpu pada tongkat yang selalu kubawa kemana saja aku pergi. Aku harus berjalan sejauh yang kubisa, jika berdiam diri, mungkin sampai kapan pun aku tidak bisa menemukan rumah tempatku pulang.
Rumah yang sesungguhnya.Aku tersenyum setelah berhasil berdiri dengan baik, lalu kuusap sebelah kakiku, “Terima kasih sudah mau bekerja sama,” ujarku pelan.
Aku selalu melakukan ini, mengucap terima kasih pada tubuhku, dengan begitu aku merasa lebih baik. Memberi apreasi pada diri sendiri tidak ada salahnya bukan?
Kedua kakiku memang utuh, namun hanya kaki kananku yang berfungsi, sedangkan kaki kiriku tidak. Meski begitu, aku baik–baik saja.
Salju masih turun dari langit, dengan berusah payah aku berjalan di bawah indahnya benda putih itu, meski tertatih–tatih aku tetap melanjutkan perjalanan panjangku, sekarang aku tidak punya tujuan, tidak ada seseorang pun yang bisa kujadikan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter In My Heart [END]
Short Story[CERPEN KE-3] "Jika saja nanti aku melupakanmu, jangan bosan mengingatkanku kembali bahwa kamu adalah Nam-Jeha. Perempuan tidak sempurna, tapi bisa membuat Jaehyun jatuh cinta."