(+) prologue

2.3K 339 60
                                    

Suara derit jendela yang ditutup kasar memutus jalan masuk debu dari udara luar. Disusul seretan malas langkah kaki menuju ranjang kayu yang mengambil hampir separuh ruang pada kamar kecil dengan suasana temaram dan lampu gantung yang redup. Seseorang lain sudah lebih dulu duduk di atas kursi, bersedekap menghadap pada sosok yang tengah terbaring dengan mata tertutup. Wajahnya begitu serius mengunci pandangan terhadap objek di depannya, mengamati setiap inchi tanpa sedikitpun ingin melewatkan pergerakan kecil yang mungkin akan terjadi dari tubuh itu.

“Dia sudah jadi mayat, buang saja.”

Tanpa menolehkan pandangan dari sumber suara yang mengajaknya bicara, orang itu menjawab sebal, “Dia masih bernapas, Taehyung.”

Taehyung mendekat, menarik kursi lain untuk duduk, wajahnya ditekuk masam, “Kalau kau sebegitu pedulinya dengan makhluk ini, bawa ke kamarmu, sial. Aku butuh ranjangku.”

Pemuda itu—Jimin menarik senyum, “Kau tahu,” dia memulai dengan satu cengiran lebar memuakkan, “Aku tidur dengan Mingyu, tidak akan muat untuk menampungnya.”

“Taruh saja di dapurmu.”

“Nanti diinjak Mingyu. Dia sering bangun tengah malam dan mencuri makananku di kulkas.”

“Bagus, untuk mempercepat kematiannya.”

Jimin mencibir, “Kau jarang pulang dan tidur di kamarmu. Kenapa sekarang mempermasalahkan sekali tentang hal ini?”

“Siapapun bisa tidur di kamarku selama dia bukan mayat.”

“Kubilang dia masih hidup.”

“Satu minggu,” Taehyung berkata, menjeda kalimat untuk mengeluarkan kotak kecil dari saku celana dan membuka isinya, potongan cokelat.  “Sudah satu minggu sejak kau merengek ngotot untuk memungut mayat ini dari perbatasan Arizona dan merepotkanku.”

“Aku hanya meminjam kamarmu, demi Tuhan.” Jimin menendang tulang kaki Taehyung dan melotot, namun tidak lama. Fokus pemuda itu cepat-cepat kembali ke sosok yang tengah dibalut selimut lusuh milik Taehyung. Dia berkata terpesona, “Akan kujadikan pacar saat dia sudar sadar.”

Taehyung bergidik, memasukkan satu potongan cokelat yang sejak tadi berada di antara jemarinya, menggerus dengan gigi gerahamnya perlahan sebelum melontarkan cibiran lain pada Jimin, “Maniak homo.”

“Lihat siapa yang bicara,” Jimin mencibir, “Kencan terakhirmu dengan Yoongi kalau kau lupa, dan dia juga pria. Dasar homo.”

Taehyung membalas datar, “Aku menyebutnya sebagai partner seks, bukan teman kencan.”

“Terserah,” Jimin menjawab tidak terlalu peduli, atensinya sudah lebih dulu disedot oleh siluet pria menawan di depannya. Tertidur pulas layaknya Aurora yang menunggu ciuman manis dari belahan jiwa agar bisa membuka mata. Garis rahang pria itu tegas, namun bibir tipis dan kelopak dengan bulu mata panjang serta hidung bangir yang indah menciptakan figur cantik dalam deskripsi kepala Jimin.

Jungkook.”

Taehyung menaikkan alis menanggapi gumaman asing yang diucapkan begitu pelan namun masih tertangkap pendengarannya. 

“Apa?”

“Namanya Jungkook,” jelas Jimin mengulang, cepat-cepat meneruskan kalimat saat menyaksikan kerutan di dahi Taehyung, “Kulihat dari inisial kalungnya.”

Taehyung melarikan pandangan tidak tertarik ke sekitaran leher mayat tidur di hadapannya, mencari-cari kalung yang disebutkan oleh Jimin dan memicingkan mata sedikit saat kilauan logam yang berasal dari bandul pemuda itu memantul di retinanya. 

“Hanya JK.”

Yah,” Jimin mengendikkan bahu, “Kutambahkan menjadi Jungkook agar pelafalannya lebih mudah diucap.”

“Idiot.”

Jimin memilih abai atas perkataan Taehyung, kembali menatap kosong sosok pucat dengan gores-gores luka kecil yang mulai mengering di sekujur tubuh seputih susunya.

Pria ini bersinar,” Jimin kembali bermonolog gamang.

Potongan cokelat kedua yang berada di sela-sela jarinya terhenti masuk ke mulut, Taehyung mendecih. “Omong kosong lagi.”

“Kau bisa tanya Mingyu.”

“Otaknya rusak sepertimu, tidak ada gunanya.”

“Hei!” Jimin mendelik, “Kau sendiri juga melihatnya.”

Tidak menjawab lebih lanjut perkataan Jimin, Taehyung tiba-tiba berdiri, menciptakan gesekan kursi yang terdorong mundur.

“Oke.”

Jimin mengerjap tidak mengerti, “Oke?” tanyanya mengambang.

Memasukkan satu potongan cokelat kembali ke dalam mulutnya, Taehyung berjalan keluar dan membuka suara setelah berada di ambang pintu.

“Hanya sampai besok pagi,” ucapnya final, menyandarkan bahunya pada palang pintu, “Kau yang membawanya pergi atau aku yang akan menendangnya ke Dreka.”

Dia bersedekap dada, “Kau bilang dia masih hidup, kan?” Taehyung menunjuk dengan dagu ke arah objek yang berbaring di ranjangnya, “Aku bisa menjualnya pada Seokjin. Kudengar restaurant si gigolo itu butuh stok daging lebih banyak dari biasanya.”

Dan pintu ditutup setengah dibanting, menenggelamkan suara protes dari Jimin disusul deru bising motor yang melaju beberapa saat kemudian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang