Pergantian tahun kadang jadi hal sulit untuk beberapa orang. Beberapa diantaranya mencoba menyelesaikan misi pada tahun ini, meski gagal dan berujung tidak tuntas.
Beberapa yang lain, mencoba melakukan hal baru. Yang kalau dipikir-pikir, tidak semudah kelihatannya. Sangat sulit.
Beberapa orang lainnya lagi, mencoba melawan perasaan dari tahun-tahun sebelumnya. Yang masih terpendam, bahkan sudah berdebu dan sangat sulit untuk dibuang.
Dan, beberapa orang terakhir, mencoba mengenal dirinya sendiri. Karena, kenal dengan diri sendiri penting bukan?
Gadis itu masuk ke dalam toilet dengan perasaan yang ia sendiri tidak bisa mendefinisikannya.
Apa dia sedih? Tapi, pipi itu bersih dari air mata.
Marah? Tapi, wajahnya tidak menunjukan raut itu.
Senang? Senyumannya luntur sejak matahari tenggelam.
Atau, apakah gadis itu tidak merasakan apa-apa?
Dia duduk di atas toilet dengan tatapan kosong ke arah lantai. Memikirkan tahun yang akan berganti, atau hal lain yang akan menunggunya tahun depan. Atau mungkin, masa lalu yang dikubur tapi tidak terlalu dalam. Agak mudah untuk digali kembali. Meski ia ragu harus memilih menggali itu kembali dan membersihkannya, atau menggalinya lalu menguburkannya lebih dalam.
Kenangan terputar di dalam kepalanya.
Kenangan itu menjebaknya. Menghipnotisnya. Kemudian mengendalikan dirinya.
Kenangan itu seperti lorong tanpa ujung. Ia sudah masuk, sehingga sangat bingung mengarah kemana selain menuju ujung yang ia tidak tahu jelas akan membawanya keluar atau malah terjebak semakin dalam.
Bibirnya kelu. Matanya mengerjap pelan, mulai memerah.
Kenangan itu memenjarakannya kembali.
Momen beberapa tahun silam terputar dengan indahnya. Terlihat tanpa dusta.
Perpustakaan.
Teras depan rumah.
Warung pinggir jalan.
Semua tempat mengingatkan gadis itu pada seseorang. Seseorang yang menumbuk hatinya dalam, lalu meninggalkan hati itu dalam keadaan remuk. Tidak mencoba memperbaiki, mungkin enggan?
Semua jadi tanya.
Matanya melirik ke atas. Mengerjap pelan. Mencoba menahan air mata yang sebentar lagi mungkin akan menetes.
Lalu teringat ucapan pemuda yang pernah bersamanya 3 tahun silam, "Berpura-pura terlihat kuat nggak buat kamu keren, Ran."
Gadis itu menggeleng kuat. Air mata itu meleleh dan terjun dari pelupuk matanya. Menuju pipi, lalu ke dagu. Beberapa butir masuk ke mulut. Tapi, ia tidak cukup peka untuk merasakan asin itu sekarang.
Tangannya bergerak menutup mulutnya untuk membungkam tangis, yang bahkan ia sendiri tidak tahu mengapa isakan itu tidak mau berhenti sekeras apapun gadis itu melawan kesedihan itu.
Kesedihan ini, terasa familiar tapi masih menjadi hal aneh.
Mungkin, mungkin karena... tiga tahunnya ia jalani dengan hal-hal familiar nan aneh seperti ini? Kalau begitu, hidupnya sungguh terdengar aneh sekarang. Kesedihan seakan memenjarakan dirinya.
"Kirana," panggil seseorang dari luar toilet.
Gadis itu, Kirana, dengan cepat menghapus bulir bening di pipi dan dagunya. Kembali berdiri lalu beranjak keluar dan bersikap biasa-biasa saja.
"Iya, kenapa, Bu?" Ibu Kirana menatap anaknya, awalnya memicing, tapi menyerah pada akhirnya dan memberikan sebuah surat kepada Kirana.
"Surat. Untuk kamu." Ibunya tersenyum sebentar lalu mengusak rambut anaknya pelan. "Berdamai dengan masa lalu itu perlu, Ran," katanya sebelum berlalu dari sana.
Kirana melihat nama pengirimnya.
Nanda Pratama
Kirana muak hanya dengan membaca nama pengirimnya saja. Ia muak. Lebih muak ketika menyadari bahwa mereka tidak tercipta untuk saling.
Ia beranjak ke kamar lalu menaruh surat itu di atas meja. Di atas tumpukan novel kesukannya.
Sekarang ia bingung.
Ingin segara membuka, membaca, lalu merasa lega karena melihat isinya. Di lain sisi, sebagian dari dirinya menolak mentah-mentah surat itu.
Tahu, dengan ada atau tidaknya surat ini. Tidak akan merubah kisahnya dengan Nanda. Ia cukup sadar. Nanda memang seharusnya dikubur. Bahkan sejak 3 tahun silam dari dalam hatinya.
Tiga jam mendiamkan surat itu akhirnya ia kesal. Mengerang marah karena tidak dapat menahan keinginan untuk membaca isinya. Ia terlampau ingin mengetahui apa yang pemuda itu tuliskan dalam kertas di dalamnya.
Kirana perlahan mengambil amplop putih itu. Membukanya perlahan hingga menampilkan lipatan kertas berwarna biru muda. Kesukaanya. Pemuda itu bahkan masih ingat warna kertas kesukaannya.
Hingga ia membuka lipatan itu.
Mengagumi tulisan yang bahkan tidak berubah meski sudah 3 tahun lamanya. Masih seperti zaman sekolah menengah atas dulu. Tidak berubah sedikitpun. Ditulis dengan pensil, sebab penulisnya tidak seberani itu untuk menggunakan pulpen. Takut ada sedikit kesalahan yang akan membuat rusak keseluruhan isi surat itu.
Matanya mulai menangkap dan membaca setiap bait-baitnya.
Untuk : Kirana Anindya
Ran, aku mengirim ini sebab aku tahu kita masih saling terbelenggu meski tidak tahu apa yang harus dilakukan agar terlepas dan bebas. Kita sama-sama tahu, terbelenggu oleh tali yang tidak terlihat itu menyakitkan. Sangat menyakitkan sekali. Aku tahu, aku tidak perlu menjelaskannya. Kamu terlalu pintar hanya untuk sekedar mengerti pernyataan-pernyataan dariku.
Kamu selalu begitu, dan seharusnya memang selalu begitu.
Kesedihan selalu melandaku waktu aku sadar bahwa kenyataanya, aku dan kamu tidak diciptakan untuk saling mengisi. Karena, nasib itu telah menjelma menjadi takdir yang tidak terhindari, Ran. Semua telah terjadi, dan aku menyalahkan diriku sendiri atas hal itu.
Kesalahan yang aku buat berimbas kepada kita. Membuat jarak itu semakin terpampang nyata, meski pada awalnya jarak itu cuma ada di kepalaku dan di kepalamu. Seolah aku membuat apa yang ada di pikiranku menjadi nyata, Ran.
Aku mencintamu. Tapi kata cinta sendiri sudah tidak lagi memiliki makna kalau harus disandingkan dariku dan untukmu. Cinta itu berubah menjadi mustahil karena aku terlalu percaya bahwa itu akan selalu mengisi hari-hariku yang seharusnya pasti juga ada kamu di dalamnya.
Aku terlalu percaya pada hal semu yang kuanggap nyata. Dan bersamamu, adalah hal semu kesekian yang akan tetap semu. Nasib itu memilih jadi nyata, daripada cuma harus berdiam diri di kepalaku setiap waktu. Aku benci waktu memikirkannya, tapi lebih benci dan merasa hampa waktu itu benar-benar terjadi.
Ran, terima kasih.
Terima kasih untuk segalanya. Kamu tahu apa yang aku maksud. Tidak perlu kujelaskan. Karena, seperti yang ku bilang, kamu terlalu pandai hanya untuk mengerti pernyataan-pernyataan dariku.
Kini, aku menjalani hidup dengan harapan yang aku tanamkan ke kamu. Bukan, bukan harapan untuk kembali bersama. Bukan seperti itu. Kesalahan itu, cukup membuatku menyadari bahwa seingin apapun aku denganmu, itu tetap akan jadi ketidak mungkinan karena itu takdir. Dan kalau bukan, berarti itu nasib yang merangkak menjadi takdir.
NandaKirana tak mampu menahannya lagi. Tangis terus meluncur dari dalam matanya. Bukan penyelasan, bukan kemarahan. Itu perasaan yang membelenggunya terus menerus dari tahun ke tahun. Memaksanya untuk bertahan meski ia tahu, ia tak sanggup. []
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] hal-hal yang tidak harus dimengerti
NouvellesRan, aku mengirim ini sebab aku tahu kita masih saling terbelenggu meski tidak tahu apa yang harus dilakukan agar terlepas dan bebas. [1/1]