Her

500 95 11
                                    

Namanya Jisoo, gadis paling menyebalkan yang pernah kutemui. Kami sama-sama berasal dari Indonesia, menuntut ilmu di Oslo dan terjebak di share house yang sama. Dia berasal dari ibu kota dan aku berasal dari kota kecil di Jawa. Anyway, kami tidak mungkin berbicara jika tidak berada di satu rumah—yah, walau kuakui, aku memang menghindari Jisoo meski sudah serumah lebih dari tiga tahun dengannya.
 
Jisoo itu sangat menyukai musim dingin. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di luar rumah mengenakan jaket hitam tebal miliknya hanya demi menghirup udara dingin. Jika ada aurora di langit Oslo, aku mengerti mengapa ia harus bersusah payah di luar. Tapi gadis itu hanya duduk diam sambil membaca buku fiksi di kedinginan mencapai hampir nol derajat. Aneh, ‘kan? Karena hal itu aku selalu menghindarinya dengan kembali ke Indonesia kala libur musim dingin tiba meski hanya selama dua minggu.
 
Namun, tampaknya tahun ini aku tidak bisa pulang mengingat tugas akhir yang harus kukerjakan. Jadi, di sinilah aku sekarang, terjebak bertiga dengan Jisoo dan pemilik rumah, Robin—seorang duda paruh baya baik hati.
 
“Lo tahu? Pemilik rumah ini psikopat.”
 
Aku hampir memuncratkan susu yang kuminum. Oh, please, ini masih pagi dan aku harus mendengar bualannya? Maaf saja, aku bukan Johnny yang akan termakan kebohongannya.
 
“Oh, gitu?” kataku acuh tak acuh.
 
Tampaknya Jisoo tahu bahwa aku tak percaya omongannya. Gadis itu mengerucutkan bibir, kembali meminum kopi dengan campuran dua sendok makan creamy bubuk—kesukaannya. Sebenarnya, dia terlihat lucu kala menampilkan ekspresi itu. Dan jujur, aku hampir menyukainya dulu. Sebelum mengetahui betapa menyebalkan dirinya.
 
“Lo tahu?”
 
Nah, apalagi yang ingin dia katakan? Meski tak tertarik, aku tetap menatapnya sambil mengunyah roti isi selai nanas yang baru kubuat.
 
“Teman kuliah gue, Simon, baru saja kena prank kemarin. Dia dikasih roti selai nanas, tapi sebenarnya selai nanas itu dicampur sama ingus Junior.” Aku punya pikiran bahwa kalimat selanjutnya bukanlah hal yang menyenangkan. “Parahnya Simon nggak tahu dan makan habis roti itu!”
 
Kalian tahu apa yang ingin kukatakan? Jancok!

Setelah membuatku tidak bisa makan selai nanas, Jisoo tidak berhenti begitu saja. Aku jadi benar-benar tidak bisa makan puas di rumah karena Jisoo selalu menggagalkannya dengan cerita jorok yang entah dari mana ia dapat. Anehnya, Jisoo yang biasa tak begitu sering mengajakku berbicara malah terus menggangguku. Padahal meski kami ditinggal di rumah berdua pun ia tak sebosan itu hingga menyiksaku seperti sekarang.
 
“Nonton ini saja!” Tanpa aba-aba ia mengambil remote televisi dan mengganti siaran. Aku melongo. Dia ini kenapa, sih? Biasanya juga tidak peduli dengan tontonanku. Terlebih satu rumah juga tahu kalau ruang televisi adalah area kekuasaanku. Tapi aku tidak bisa terlalu memikirkannya kala monster mengerikan muncul di layar. Refleks aku mendekatinya, seolah bersembunyi di balik badan Jisoo. Tersadar, aku langsung mengubah posisi dan menutup wajahku dengan bantal.
 
“Taeyong, lo takut—“
 
"Meneng! Koen lak ngerti seh aku gak iso ndelok ngenean?” (Diam. Kamu, kan, tahu aku nggak bisa nonton ginian).
 
“I-iya maaf, Yong.” Hening sejenak. “Btw, gue nggak tahu artinya.”
 
Hoalah, gung seneng lak gung nggarai emosi. (Oalah, nggak senang kalau nggak bikin emosi).
 

***

 
Aku terbangun karena suara ketukan tak sabar di pintu kamar. Ini hari minggu pagi yang kuidamkan setelah bergadang mengerjakan tugas akhir, tapi tampaknya seseorang tidak ingin memberikan kedamaian pagi yang kuinginkan. Saat kubuka, terlihat Jisoo dengan wajah paniknya langsung mendorongku masuk dan menutup pintu di belakang.
 
Jisoo mengatur napasnya, duduk di kursi belajarku dan meminum air mineral di atas meja. Dude, apalagi ini?
 
“Ini jam delapan, Jisoo,” kataku setelah mengecek jam di ponsel.
 
“Selamat pagi?”
 
Cok, bukan gitu maksudny—“
 
“Lo tahu?” Sumpah aku tidak mau tahu. “Tuan Heinstein yang berjarak dua rumah dari sini adalah seorang intel. Rumah ini agak terpisah dari yang lain, tapi kita bisa meminta bantuannya saat dalam bahaya.”
 
Aku melongo, lalu berjalan ke kasur dan bersiap melanjutkan tidur. Memangnya apa yang harus kulakukan? Jiwaku tak semuda itu untuk merasa antusias saat mengetahui seseorang di sekitarku adalah intel. Lagi pula aku tidak percaya perkataan Jisoo. Terakhir kali aku mempercayainya, ia berbohong dan membuatku harus membersihkan gudang bawah tanah milik Robin.
 
Akan aku ceritakan sedikit. Saat itu musim dingin tahun pertamaku di Oslo, masa di mana aku masih belum beradaptasi akan salju. Tiba-tiba Jisoo mendatangiku, berbohong bahwa Robin menyuruhku membuang salah satu tanduk rusa—koleksi buruan Robin. Akibatnya aku dihukum membersihkan gudang bawah tanah. Jisoo? Gadis itu seenaknya tidur di dekat perapian ruang baca.
 
Itu hanya salah satu dari banyaknya kebohongan Jisoo yang membuatku sial. Jadi bisa kalian bayangkan betapa aku membencinya. Bahkan saat ini, saat aku melihatnya tengah membelakangiku dan berdiri di antara salju, aku memiliki pikiran impulsif untuk memukul kepalanya dengan bola salju besar. Memikirkan tentang sifat Jisoo, ia mungkin berpikir aku mengajaknya perang salju.
 
Masih memikirkan untuk melancarkan aksiku atau tidak, Jisoo sudah berbalik dan menatapku. Kulitnya yang putih seolah menyatu dengan salju, sangat kontras dengan jaket hitam yang ia kenakan. Jujur saja ... dia terlihat cantik. Tapi, dia memang selalu terlihat cantik dan menyebalkan.
 
Jisoo tersenyum menyadari kehadiranku, buru-buru mendekat. Hidungnya berwarna kemerahan—tampaknya ia sudah lama berada di luar.
 
“Kenapa?”
 
“Gue nunggu lo.”
 
Sepertinya aku terlalu banyak minum kaffein karena dadaku mulai bergemuruh aneh. Baru ingin membalas, mataku menangkap sosok lain tak jauh dari tempat kami berdiri. Langit yang mulai menggelap membuatku samar-samar melihatnya, tapi aku yakin itu Robin yang sedang menyeret sesuatu. Kalau tidak salah lelaki itu bilang ia pergi berburu tadi pagi.
 
Aku membola, menyadari sesuatu saat mengamati Robin. Atensiku langsung teralih pada Jisoo yang memandang Robin dengan raut aneh.
 
“Apa saja yang kamu lihat?” Ini dia. Inilah jawaban atas kelakuan aneh Jisoo akhir-akhir ini.
 
“Awalnya gue mendengar suara aneh dari gudang bawah tanah, kayak percakapan dua orang. Besoknya gue mencium bau amis pas lewat gudang. Robin juga baunya kayak gitu. Seminggu yang lalu gue melihat Robin nyeret kantong kayak yang dia lakuin sekarang. Terus kemarin ... pas gue ke kamar lo—“
 
Aku langsung menyeretnya pergi. “Kamu bawa uang berapa?”
 
“Gue bawa dompet, isinya lengkap dengan kartu de—“
 
“Oke,” potongku. “Kita tidur di luar beberapa hari ini.”
 
Baiknya, aku mengetahui bahwa Jisoo tidak selalu berbohong. Buruknya? Aku tidak tahu apa yang akan Robin lakukan pada kami—terlebih saat ia menyadari bahwa kami sudah mengetahui identitasnya. Dan aku tidak bisa melupakan tatapannya saat melihatku menyeret Jisoo pergi.
 
"Tuan Heinstein itu intel?"

"Gue cuma bohong untuk nenangin diri ...."

Well ... she is Kim Jisoo, alright.

—Fin—

Haii! Cerita kali ini oneshoot yang diikutkan pada project ulang tahun Jisoo yang dibuat kak hippoyeaa. Semoga kalian suka walaupun akhirnya gantung hoho.

Her | TaesooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang