Pasti selalu ada kejadian seperti ini di masa-masa SMA: Lo bertanya apa gunanya menguasai hampir seluruh mata pelajaran dan guru lo tanpa pikir panjang bakal menjawab kalau itu berguna buat masa depan.
Jefri, anak IPS yang tiba-tiba merangkap ke jurusan IPA, bakal dengan sigap menimpal, "Peduli setan. Lo pikir keberadaan gue itu udah suatu kebergunaan?" Beruntung guru di depan mereka itu sudah berkepala tiga, telinganya tak berfungsi baik untuk dapat mendengar umpatan Jefri tadi.
"Ngga apa, Jef. Gue yakin Bu Sapto bicara begitu karena beliau nyesal ngga mengabdikan sisa hidupnya membaca koran setiap pagi di panti jompo dan malah menjadi guru tetap di SMA ini.” Ia menatap Saudara kandungnya prihatin sambil mengusap punggungnya. Mark namanya, adik satu-satunya Jefri.
Rabu ini cerah, cukup cerah bagi Mark untuk mengajak para sahabatnya ngumpul di kafe sebelah SMA-nya, SMA Sejuta Kata. Ia tahu betul mereka sedang ada di fase-fasenya suntuk.
"Jaf Jef Jaf jef, gue kakak lo ya, anjing." Mark hanya membalasnya dengan cengiran. "Orang-orang munafik seperti mereka, Mark, suka banget membual." Jefri mengaduk-aduk minumannya. Nelangsa. Ah, masih saja ia membahasnya. Mark menggaruk tengkuknya yang tak gatal, malas menjawab.
Persis saat itu, seorang gadis berambut panjang datang menghampiri mereka lunglai, penampilannya agak menganggu mata. "Demi Tuhan-" Matanya melotot, ekspresi wajahnya membuat Jefri dan Mark berhipotesis kalau sahabatnya ini baru saja melihat kotoran manusia sebesar gajah, "-tadi itu adalah tahi terbesar yang pernah gue temuin." Dan benar saja.
Jennie, gadis yang sedari tadi hanya sibuk dengan telepon genggamnya, mengumpat karena mendengar temannya membicarakan hal yang kurang pantas di tempat makan seperti ini. Sedangkan Jefri mati-matian menahan tawa.
"Serius. Gue baru selesai sama dua cowo, niatnya ke toilet mau bersih-bersih. Eh tau-tau ... Anjing. Gue sempat muntah di sana. Mana digedor-gedor sama yang ngantri. Ngga tau deh udah berapa kali gue teriak 'Satu menit lagi!' Gosh, orang-orang jaman sekarang kenapa sih," geram Joy. Ia sibuk menepuk-nepuk pakaiannya agar bersih, tadi tak sempat karena terburu-buru.
Tawa Jefri meledak kencang, lebih kencang daripada yang diperlukan sampai-sampai semua pengunjung menengok ke arah mereka berempat. Sadar menjadi pusat perhatian, ia segera menutup mulut dengan tangannya sendiri, lalu memasang tawa renyah. "Dih, kayak lo bukan orang aja."
"Ternyata lo belum sembuh, ya, Joy." Jennie berdecak kesal, akhirnya gadis ini membuka mulutnya. Joy memang kalau sedang banyak masalah pasti 'bermain' dengan para lelaki berhidung belang.
Huh, ini terjadi setiap saat! Bilamana Joy tertangkap basah oleh Jennie kala pagi-pagi di depan kost, pasti Jennie akan bertanya sarkas, "Siapa yang paling nikmat?" Yang akan dijawab Joy dengan nada malas, "Dan siapa yang paling lo benci?" Pertanyaan yang Joy ketahui jelas bahwa jawabannya adalah dirinya sendiri.
Untungnya ada seorang penengah di pertengkaran yang anehnya tidak pernah berhenti ini, Justin. Cowok yang tampan, keren, memiliki segudang bakat, tajir malintir lagi. Beuh, pantas saja banyak gadis mengejarnya. Bahkan suatu kabar burung pernah berkata bahwa Justin punya fanclub di sekolah, lho!
"Ampun, ampun. Lo berdua pengen bacot sampai kapan, sih? Sampai Pak Kino nikah lagi? Sampai gue kere? atau Kiamat? Kapan?" Ajaibnya perkataan Justin ini benar-benar bekerja, karena seketika Joy dan Jennie kembali pada aktivitas masing-masing.
"Hoy!" Senyum keempat orang itu langsung merekah, mereka melambai-lambai tangan ke arah pintu kafe. Menyambutnya.
"Lo ditungguin ya anjir! Kemana aja?" Mark menginterupsi.
Justin hanya cengar-cengir. "Sorry, guys. Gue tadi ada latihan band buat pensi besok, hehe." Tanpa menunggu respon, ia segera duduk dan memesan minum. Pandangannya diedarkan dan langsung tersadar akan sesuatu. "Kok cuma berempat? Rosie mana?"