Chapter 18

5.5K 1.2K 501
                                    

Chapter ini mengandung sensitive content

.
.
.
.

Ada yang mengatakan, orang yang paling sering tertawa adalah orang yang paling banyak menyimpan duka. 

Kata-kata itu sepertinya bisa menggambarkan sosok Kalandra Bagaskara,  orang-orang selalu berpendapat bahwa Andra adalah sosok yang sangat ceria dan positif. Bahkan sejak di bangku sekolah dulu, Andra selalu memiliki teman di berbagai kelas, terkenal suka membantu para guru, ramah pada ibu kantin dan penjaga sekolah.  Waktu hadir ke acara reuni pun teman-temannya selalu bilang bahwa Andra tidak pernah berubah. Dia tetap sosok yang ceria dan selalu penuh senyum.

Tetapi lain cerita dengan pendapat saudara-saudaranya. Diam-diam mereka selalu berpendapat bahwa Andra itu sangat tertutup dan sulit ditebak. Bahkan lebih sulit daripada memahami Xavier sekalipun yang terkesan dingin.  Kalau Xavier akan selalu berkata 'tidak' kalau memang tidak suka. Mereka bisa melihat apa suasana hati Xavier sedang Bagus atau tidak dari ekspresi wajahnya yang sekalipun lebih sering datar tapi masih tersisa sedikit senyum jika suasana hatinya sedang senang.

Kalau Andra, mereka akan selalu melihat wajah ceria lelaki itu, atau senyum dan tawa yang dia perlihatkan. Tapi mereka sama sekali tidak tahu apa senyum dan tawa itu adalah benar atau tidak. Mereka telah membuktikannya saat dulu keluarganya di ambang kehancuran. Bertahun-tahun menyimpan borok keluarganya sendiri, setiap hari harus mendengar pertengkaran yang sama di dalam rumah, nyatanya Andra masih bisa menyembunyikan duka nya pada yang lain seolah keluarganya baik-baik saja hingga akhirnya terbongkar keretakan rumah tangga orang tuanya yang berujung pada perceraian juga Dylan yang hampir meregang nyawa karena depresi yang ditahan sendirian.

Andra seolah tidak mengizinkan siapapun untuk mengintip kehidupan pribadinya, bagaimana perasaannya, apa yang dia rasakan. Andra seolah hanya ingin orang-orang melihat dirinya yang selalu tertawa, hingga dia lupa bahwa dia butuh seseorang untuk tempatnya bercerita dan berkeluh kesah, dan ketika dia mengingat itu semua dia akan selalu kembali pada satu orang. Saudara yang seperti sahabat, seorang yang selalu menarik tangannya ketika Andra tidak mau mengulurkan tangan lebih dulu.

"Da."

Andra, masuk lewat pintu depan kafe yang sudah bertuliskan tanda close.  Dilihatnya Garda yang sudah sendirian di kafe nya sementara para karyawannya yang lain sudah pulang lima belas menit yang lalu.

"Eh, Ndra. Duduk dulu, gue beresin ini bentar, ya." Garda tersenyum kecil sambil merapikan beberapa berkas dari meja.

Andra menganggukan kepala dan duduk di salah satu kursi, mata nya masih mengikuti pergerakan Garda yang berjalan ke belakang dan menghilang di balik tirai abu-abu. Dialihkannya pandangan ke arah luar, titik-titik air karena gerimis di luar mengenai jendela kaca lebar. Sambil bertopang dagu, lelaki itu menatap jalan yang mulai lenggang karena hari sudah semakin malam. Sesuatu masih berputar-putar di pikirannya, seperti sebuah benang kusut yang rasanya malam ini harus dia uraikan agar hatinya sedikit tenang. 

Pembicaraannya dengan Dylan tadi membuatnya mengambil keputusan yang membawanya menemui Garda sekarang. 

"Nih." Garda datang membawa secangkir kopi yang masih panas untuk Andra.

"Thanks, Da. Sori gue ganggu lo malem-malem gini."

"Kayak sama siapa aja lo. Santai aja, Ndra." Garda meniup kopi miliknya, mengecapnya sedikit sebelum meletakannya kembali ke atas meja sambil melirik Andra yang menunduk menatap kopinya tanpa minat.  "Lo lagi ada masalah?"

"Hm?" Andra mendadak mengangkat kepala.

"Terakhir kali gue lihat ekspresi serius lo kayak gini waktu lo cerita sama gue soal kesehatan mentalnya Dylan." Garda mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Andra datang padanya, bercerita sambil menangis.  "Ada apa?  Lo bisa cerita sama gue."

Bagaskara : Begin AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang