Gavino melajukan motornya menuju rumah. Entah kenapa perasaannya terasa lebih senang sekarang. Di balik helm full face nya ia tersenyum. Gadis itu. Gadis itu telah berhasil memorak-porandakan hati dan pikirannya. Padahal jika dihitung, baru dua hari Gavino bertemu dan mengenal Aletta.
Sesampainya di rumah, ia langsung menyalami Papa dan Mamanya yang tengah bersantai di ruang tamu. "Loh, kok sendiri? Geva mana?" tanya Mama.
"Geva? Loh, Gavi kira dia udah sampe duluan."
Terdengar helaan nafas dari mulut Papa. "Huh, anak itu."
Tak lama, orang yang tengah dibicarakan memunculkan dirinya. Dengan wajah dingin dan ketus khasnya, ia langsung melewati ketiganya begitu saja. Hal itu membuat ketiganya menatap tak percaya terhadap Geva. "Dia pasti salah pergaulan." Ucap Papa.
"Jaga pergaulan kamu dan kakak kamu. Jangan sampai kalian salah pergaulan." Ucap Mama sambil menepuk pundak Gavi. Hal itu dijawab anggukan pasti oleh Gavino. "Oke. Gavi ke kamar dulu, ya."
Bukannya masuk ke dalam kamarnya, ia justru masuk ke dalam kamar Geva. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Gavi langsung masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu. Siapa sangka, di dalam, Geva baru saja selesai mandi dan hendak melorotkan handuk nya. Hal itu membuat Geva terkejut dan spontan mengumpat. "Tolol! Lain kali ketuk dulu kalo masuk! Masih untung belum lolos." Umpat Geva sambil melemparkan bantal ke arah Gavi.
Hal itu jelas membuat Gavi terpingkal. "Hahaha, aduh, santai aja kali. Kita udah sama-sama dari waktu masih direndem air ketuban. Pake segala malu."
Jawaban sembrono Gavi dibalas dengusan kesal oleh Geva. "Ngapain lo ke kamar Gue?" tanya Geva sambil memakai bajunya.
"Nggak. Gue bosen aja,"
Detik berikutnya, sambil membawa pakaian dalam dan celananya, Geva masuk ke dalam kamar mandi. Saat Geva masuk ke dalam kamar mandi, Gavi langsung membantingkan tubuhnya di atas kasur milik Geva.
Meski mereka berdua kembar, bisa dibilang selera dan sifat mereka berbanding terbalik. Jika Geva lebih menyukai sesuatu bernuansa hitam, Gavi lebih menyukai sesuatu yang bernuansa putih dan abu-abu.
Seperti contohnya nuansa kamar dan watak mereka. Kamar Geva lebih didominasi dengan warna hitam meskipun masih ada warna putih untuk menghidupkan. Sedangkan kamar Gavi lebih didominasi dengan warna putih dan abu-abu. Jika Geva lebih pendiam dan terkesan ketus juga keras kepala, Gavi lebih petakilan juga banyak bicara dan terkesan ramah.
Tak lama, Geva keluar dari kamar mandi. Kini ia sudah lengkap memakai pakaian-tidak setengah bugil seperti tadi. "Ge," panggil Gavi pelan.
"Jangan panggil Gue 'Ge'. Nama Gue bukan Gea."
"Suka-suka Gue aja napa sih! Ribet!"
Lagi-lagi Geva mendengus. Gavi benar-benar sialan!
"Lo bisa lebih sopan lagi nggak sama Papa dan Mama?" tanya Gavi.
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Gavi, Geva berdecih. "Gue nggak janji." Ucap Geva enteng.
"Why?"
"Why? Karena mereka lebih sayang sama lo."
Mendengar jawaban Geva, Gavi terkekeh sumir. "Alasan konyol. Nemu spekulasi dari mana, lo?" tanya Gavi tanpa menoleh pada Geva.
Geva yang tengah duduk di meja belajarnya menoleh, memutar tubuhnya ke arah Gavi. Sudut bibir kirinya terangkat. "Spekulasi dari mana? Dari mata, hati, dan pikiran Gue. Gue lihat, selama ini kenyataannya memang begitu. Lo lebih di perhatiin, lo lebih dilihat, lo lebih diutamakan. Well, mungkin karena lo jauh lebih sempurna di bandingkan Gue."
"Lo ngomong apa, sih? Itu bukan alasan yang tepat untuk lo nggak bersikap sopan ke Mama dan Papa!" seru Gavi, nada bicara nya kini naik seoktaf.
Geva menghela napasnya berat, menyesali kenapa ia bisa hilang kendali untuk mengucapkan semua keluh kesahnya selama ini. "Lo boleh keluar. Gue mau tidur." final Geva. Pembicaraan mengenai hal ini mungkin terlalu sensitif untuk dirinya.
***
Geva menuruni satu persatu anak tangga. Saat melewati meja makan, pemandangan yang membuatnya tak nyaman langsung tertangkap oleh iris matanya. Ya, pemandangan itu. Gavi, Mama, dan Papa yang tengah sarapan bersama. Dengan malas, ia langsung melewati mereka begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia tak memedulikan panggilan dari Gavi.
"Geva! Tunggu!" melihat Geva yang acuh terhadapnya, Gavi langsung bergegas mengejar Geva-tak lupa sebelumnya Gavi menyalami kedua orang tuanya dahulu.
Saat sampai di garasi, Gavi berhasil mencekal Geva yang hendak melajukan motornya. "Ge, lo kenapa, sih?" Tanya Gavi. Wajahnya terlihat frustrasi.
Geva lagi-lagi menghela napasnya. Setelah itu, ia membuka helmnya dan mematikan mesin motornya. "Kita udah ngomongin ini kemaren, kan? Lo udah tau alasannya. Lo nggak perlu tanya lagi." ucapnya acuh. Setelah itu ia kembali mengenakan helm nya dan melajukan motornya menuju sekolah. Meninggalkan Gavi yang menatapnya dengan tatapan frustrasi.
"Jadi Gue harus apa, Gevano?"
***
Seperti biasa, lima belas menit sebelum bel masuk dibunyikan, aku dan Rara biasa mampir di kantin untuk menemani Rara sarapan. Dia tak pernah sarapan, makan siang, ataupun makan malam di kost-nya. Sebab katanya, dia tak terlalu pandai memasak dan juga ia malas mengisi kulkasnya dengan bahan makanan.
Pandanganku beredar ke seluruh penjuru kantin. Hingga tatapanku terkunci di meja yang tak jauh dari mejaku dan Rara. Itu-meja yang ditempati oleh Kak Tari dan dua temannya. Saking terkuncinya tatapanku, aku sampai tak sadar bahwa sedari tadi Tak Tari juga membalas tatapanku. Saat menyadarinya, aku langsung tersenyum kaku ke arahnya lalu memalingkan wajah. Arghh, memalukan sekali.
"Lagi liatin apa, sih?" tanya Rara begitu ia selesai makan.
"Ah, nggak." ucapku lalu menjeda. "Umm.. Ra. Kamu.., tau soal Kak Tari nggak?"
"Kak Tari? Sedikit sih. Aku kebetulan udah sedikit stalk, hehehe." ucap Rara sambil tertawa konyol.
Aku merasa, sepertinya aku bertanya pada orang yang tepat. "Jadi, kamu dapet apa?" tanyaku menggebu-gebu.
Rara terlihat berpikir sejenak, memikirkan beberapa fakta tentang Kak Tari yang ia dapatkan. "Eee.. Kalo aku liat di instagram nya sih, ya. Dia itu jago Nari, pinter, cantik pula. Denger-denger, dia pernah juara lomba tari nasional, lho. Katanya, dia juga pernah juara olimpiade biologi tingkat kabupaten!" seru Rara.
Mendengar penuturan Rara, aku benar-benar speechless. Kak Tari ternyata lebih perfect dari yang aku duga. Aku jadi kagum dengannya. "Ah, perfect banget ya." Ucapku sambil mangut-mangut.
"Namanya Tari, dia juga jago Nari. Kayaknya dia dikutuk buat jadi penari lewat namanya, deh." Ceplos Rara membuatku sedikit tertawa.
"Ah, iya. Ada satu lagi info paling best yang aku dapet." Ucapnya lalu menjeda. Aih, padahal aku sudah gemas dan penasaran. "Ternyata.. Kak Tari itu-mantannya Kak Gavino!"
_____
A/N
Nggak ada spoiler untuk part selanjutnya disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletta
Teen FictionSayangnya, ini bukan cerita si ketua gengster yang bertemu si gadis polos. Ini ceritaku. Aku yang tak percaya lagi pada dunia. Aku yang merasa di khianati oleh semesta, dan aku yang sulit mempercayai orang-orang disekitarku lagi. Hidupku tak perna...