Prolog

13.7K 2.1K 138
                                    

Bocah itu menatap wanita cantik yang tengah mengupas buah. Ada sebuah gazebo dengan tirai-tirai berwarna emas di tengah taman. Taman yang dibuat khusus untuk wanita pujaan baginda raja. Wanita yang merupakan ibu dari bocah tampan pendiam itu.

"A'arog, kemarilah, Nak. Buah untukmu sudah siap."

Itulah yang membuat hubungan mereka berbeda, tidak seperti hubungan ibu dan anak dari kalangan bangsawan lainnya, yang terikat protocol kerajaan dan sopan santun ketat, bahkan untuk sekedar menunjukkan kasih sayang.

Bocah tampan itu hendak melempar pedang kayunya, tapi kesatria yang merupakan guru berpedang menahan ujung senjatanya.

"Tak ada kesatria yang meninggalkan pertempuran, Yang Mulia."

"Sang Akhlasa memanggil. Tak ada satupun manusia yang boleh menolak panggilannya."

San Guru tersenyum. Dia dan seluruh petinggi kerajaan yang pernah berinteraksi dengan putra mahkota, mengetahui betapa cerdas dan diplomatis bocah itu untuk anak usia tujuh tahun. Calon raja sempurna.

"Di medan perang, musuh tidak mempedulikan apakah Yang Mulia mendapat perintah kembali dari Sang Akhlasa. Mereka, hanya ingin memastikan leher Anda tertebas."

Bocah itu tidak meringis, apalagi terlihat takut. Ia calon raja dan memiliki ketertarikan soal perang. Saat malam hari, yang dilakukannya adalah menyelinap untuk mendengar kisah-kisah melegenda dari para kesatria di negerinya. Dia tahu suatu saat akan pergi bertempur seperti mereka, dan harus menjadi lebih tangguh dari siapapun. Karena dia ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.

Namun, semenarik apapun gagasan untuk membuat Sang Guru melihat kemajuan latihannya, panggilan dari sang ibu wajib ditunaikan. Jadi, tanpa aba-abai, dia menggerakan pedang, melakukan gerakan menyerang efektif yang didapatkannya dari latihan mandiri di kamarnya setelah para pengasuh pergi. Berhasil, pedang Sang Guru terhempas ke tanah dan kini ujung pedang kayu sang pengeran tepat berada di bawah tulang rusuknya.

"Gerakan yang luar biasa. Hamba tidak tahu Anda memilikinya, Yang Mulia," ucap Sang Guru terkesima.

"Kau membuatku terpaksa menunjukkanya."

"Karena Ibunda Anda?"

"Karena Sang Akhlasa." Bocah itu menyeringai. "Bukankah aku sudah mengatakan, bawa tak ada yang boleh menolak panggilan Sang Akhlasa." Lalu bocah itu menurunkan pedangnya, memberi hormat lalu berlari ke tempat sang ibu.

"Ibunda tak tahu kau bisa mengalahkan Sang Master."

"Dia menghalangiku menemui Sang Akhlasa."

"Apa kau begitu mencintai Sang Akhlasa ini?"

"Sama cinta dengan negeri ini."

"Kau tahu Ibunda akan menjebakmu dengan menanyakan perbandingan itu bukan?

Bocah itu tersenyum, membuat Ibundanya terkekeh. Dia memang sangat sulit disudutkan.

"Suatu saat kau akan memiliki Sang Akhlasa-mu sendiri, Pangeranku tersayang."

"Seperti Ayahanda?"

"Iya, seperti Ayahanda."

"Bagaimana caranya? Istana ini dipenuhi perempuan pesolek yang hanya gemar bernyanyi dan menari."

Sang ibunda kembali terkekeh, lalu membelai kepala putranya. "Kau tidak perlu memusingkan bagaimana caranya dan seperti apa proses yang dilalui untuk mendapatkannya. Karena jika saatnya tiba, hatimu akan menunjukkan siapa dia. Hatimu akan tahu siapa gadis yang pantas menjadi Akhlasa untuk negeri ini."

TBC

love,

Rami

Ini Mamak, eh salah, Ibundanya ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini Mamak, eh salah, Ibundanya ya.

Jadi kira-kira aja, ciwi-ciwi di sono pakeannya kek gini. Wkwkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang AkhlasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang