“Jangan, Mas. Sakit … tolong jangan begini,” rintihku memelas.
“Diam! Kalau kamu menurut, semua akan baik-baik saja.”
“Tolong hentikan, Mas Narto … aku mohon.” Linangan air mata sama sekali tidak menggerakkan hati nurani laki-laki yang ada di depanku ini.
BRAK!
Pintu ruang tamu terbuka lebar. Tampak sosok pria yang tak kalah kekarnya dengan orang yang mencengkeram pergelangan tanganku hingga terasa sakit saat ini. Ia adalah Herman.
“Hentikan! Bajingan!” bentaknya pada Mas Narto.
“Apa urusanmu, hah?!” Mas Narto membalas tak kalah sengit.
“Mau kauapakan Murti, brengsek?!”
“Bukan urusanmu! Dia adikku, mau aku bunuh pun tidak ada hubungannya denganmu!”
Herman berjalan ke arah Mas Narto dan segera menonjok pipinya dengan keras. Mas Narto adalah kakak kandungku. Ia dulu tidak sekasar itu padaku. Namun, semenjak kepergian Emak dan Bapak, tabiatnya berubah. Ia sering mabuk-mabukan dan menjadikan aku sebagai pelampiasan kekesalan akan keadaan.
“Kamu tahu apa, hah? Kamu mau ambil dia? Ini, nih pungut, atau jual sekalian kalau laku,” Mas Narto menghempaskan tubuh kurusku ke arah Herman.
Aku hanya bisa menangis sembari memegangi pergelangan tangan yang serasa terbakar dan kaku akibat cengkeraman Mas Narto.
Herman merangkul dan membawaku keluar. Beberapa warga mulai berdatangan. Ketua RT pun tidak mampu berbuat apa-apa, sebab sudah sangat biasa Mas Narto seperti itu. Jika berusaha melerai, yang ada orang tersebut akan dihajar dan dimaki oleh Mas Narto habis-habisan. Herman memintaku mengambil beberapa baju dan perlengkapan yang sekiranya bisa kubawa.
Tanpa berlama-lama, aku secepat mungkin mengambil beberapa helai baju, serta pigura yang di dalamnya ada foto Emak dan Bapak. Warga hanya menyaksikan ketika aku dipapah keluar oleh Herman. Beberapa memandangku iba, tetapi tak sedikit pula yang hanya ingin menyaksikan suasana bak drama keluarga.
“KALIAN BODOH! DIA ANAK LAKNAT! PEMBAWA SIAL, KURANG AJAR, TAK TAHU DIUNTUNG. BRENGSEK!!!”
Dari dalam rumah terdengar Mas Narto berteriak dengan sumpah serapahnya padaku. Herman dan Pak RT membawaku ke rumahnya dan mendiskusikan tempat tinggalku nanti.
“Begini saja, aku ada gubug kecil, tapi letaknya di ujung desa. Apa kamu mau untuk sementara tinggal di sana, Nak Murti?” tanya Pak RT.
“Ta-tapi, apa tidak apa-apa, Pak? Apa saya tidak merepotkan?”
“Tidak. Tenang saja. Istriku juga sudah setuju. Sebenarnya sudah lama kami, para warga ingin membantu kamu keluar dari rumahmu itu. Tapi hanya nunggu waktu yang tepat saja.”
Air mataku kembali berlinang. Para warga sama sekali tidak membenciku. Kukira setelah apa yang terjadi dan berita yang tersebar selama ini, mereka sudah tidak peduli lagi. Ternyata aku salah.
“Terima kasih banyak, Pak. Saya akan mencari pekerjaan dan membantu membayar sewanya.”
“Sudah-sudah, jangan pikirkan hal itu, Nak Murti. Sebenarnya, kami senang kalau kamu tinggal bersama di sini, tapi … kami juga tidak bisa. Apalagi anak kami semua laki-laki, kurang etis rasanya,” timpal Bu RT yang datang dengan nampan berisi minuman dari dapur.
“Saya mengerti, Bu. Terima kasih banyak untuk semuanya.”
“Sebaiknya kamu obati dulu lukamu, Mur. Banyak sekali. Apa Narto akan benar-benar membunuhmu? Dasar biadab,” ujar Herman dengan nada sedikit emosi.
“Sudah, Man. Tahan emosimu. Ambilkan saja kotak P3Knya di lemari itu,” perintah Pak RT pada Herman, anak pertamanya.
Ya. Herman adalah anak Pak RT. Rupanya, selama ini ia memang ditugaskan untuk mengawasiku dan Mas Narto, sehingga kalau terjadi apa-apa padaku, ia bisa segera datang untuk menolong. Sama seperti tadi.
Sebenarnya, Herman sudah beberapa kali menyatakan perasaannya padaku. Namun, aku merasa tidak pantas dan menolaknya. Apalagi statusku yang sudah janda tiga kali di usia 27 tahun ini.
Entah mengapa pernikahanku selalu kandas. Orang bilang aku adalah wanita Bahu Lawean. Dalam tradisi Jawa artinya wanita yang mendapatkan sial. Apabila menikah maka suaminya akan meninggal tanpa sebab yang jelas, meski sudah menikah tiga kali. Itu pula yang terjadi padaku. Walaupun statusku janda, tetapi aku masih suci, belum tersentuh sama sekali.
Konon, orang bilang ada makhluk halus yang bersemayam di tubuhku. Sejenis genderuwo, sehingga kalau aku menikah makhluk itu tidak suka dan lantas membunuh suamiku. Percaya atau tidak, itulah yang hampir seluruh orang yakini.
Aku sudah berusaha diobati berkali-kali. Dari mulai dukun sampai ke kyai, tetapi sama saja. Bahkan, Emak dan Bapak sampai meninggal akibat memikirkannya. Itulah alasan kenapa aku tidak kabur dan menerima perlakuan kasar Mas Narto dengan ikhlas. Mungkin benar katanya kalau aku hanya membawa sial bagi keluarga. Tidak ada sanak saudara yang mau mengakui atau bahkan menampungku. Mereka mengucilkan dan cenderung jijik atau malah takut.
Bisa diterima tinggal di kampung ini saja, aku sudah sangat bersyukur. Walaupun kasak kusuk omongan warga sering kali kudengar kala berpapasan atau lewat depan mereka berada. Anehnya, dari semua pengobatan yang kujalani, tidak ada satu orang pun yang menyebut aku sebagai wanita Bahu Lawean. Mereka hanya memintaku bersabar dan jodoh pasti datang. Mereka juga bilang kalau aku bukan termasuk dari wanita yang memiliki kesialan itu. Lalu, kenapa semua suamiku meninggal dunia, bahkan sebelum malam pertama?
Masih kuingat dengan jelas sekitar dua tahun lalu, pernikahan pertamaku dengan Mas Deri. Meski dijodohkan, kami akhirnya saling suka. Beberapa bulan kemudian kami lamaran dan menikah. Selama pacaran tidak ada yang janggal. Sampai pada malam setelah ijab qobul, tiba-tiba Mas Deri berteriak dari dalam kamar mandi dan ditemukan tak sadarkan diri. Ia sempat dirawat di rumah sakit selama tiga hari, tetapi nyawanya tak terselamatkan.
Pada saat itu, kami masih menganggap wajar dan normal. Sampai enam bulan kemudian, aku dijodohkan lagi dengan tetangga desa bernama Ari. Aku tidak terlalu suka, tetapi demi orang tua, kuterima lamarannya. Singkat cerita, kami akhirnya menikah. Namun, kejadian serupa terulang. Setelah pesta pernikahan, malamnya Mas Ari terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Keluarga Mas Ari menuturkan kalau ia tidak memiliki riwayat sakit jantung sebelumnya, dan menyalahkan keluargaku.
Aku dan keluarga hanya bisa pasrah. Lalu, lima bulan kemudian datang seorang pemuda luar pulau yang tiba di desa ini untuk urusan bisnis bernama Haris. Dua bulan kemudian ia tiba-tiba datang ke rumah dan melamarku. Sudah kutolak dan menjelaskan alasannya, tetapi ia tidak percaya dan menganggap itu takhayul. Di satu sisi aku merasa takut, tetapi di sisi lainnya senang karena masih ada orang yang mau denganku.
Singkat cerita, akhirnya kami menikah secara sederhana. Namun, kematian suami ketigaku inilah yang membuat gempar dan berita makin santer terdengar. Mas Haris meninggal tepet setelah mengucap ijab qobul. Sontak saja semua orang jadi menjauhi keluarga kami. Sejak saat itu, Bapak mulai sakit-sakitan dan meninggal. Tiga bulan kemudian disusul Emak. Mas Narto mau tak mau harus jadi tulang punggung keluarga. Pada mulanya ia hanya diam saja, tetapi lama-lama ia mulai kasar.
Akibat terlilit hutang demi kebutuhan, aku sempat dijual ke beberapa teman Mas Narto. Namun, mereka semua menolak karena takut bernasib sama dengan suami-suamiku terdahulu. Bahkan, aku sempat dijual secara online. Kala itu orang yang membeliku pria tambun berkaca mata tebal. Ia merupakan seorang pengusaha ternama dari kota sebelah.
Setelah janjian dengan Mas Narto sebelumnya, ia membawaku ke sebuah hotel. Mas Narto meninggalkanku berdua dengannya saja di sana. Pria itu memintaku untuk mandi dan berganti baju dengan baju yang sudah ia bawakan. Aku menolak, tetapi pria itu marah dan menamparku.
Oleh karena takut, aku menurut saja. Baju transparan yang sangat tidak nyaman itu terpaksa kupakai di depannya. Bagian dan lekukan tubuhku jelas terlihat. Namun, saat akan menyentuhku, tiba-tiba pria itu berteriak dan tak sadarkan diri. Tak tahu kenapa, tapi tidak peduli. Segera berganti baju dan kabur dari tempat itu. Meskipun, sesampainya di rumah disiksa habis-habisan oleh Mas Narto karena tidak bawa uang.
Akan tetapi, satu hal yang pasti. Pria itu berteriak bukan karena melihatku, melainkan sosok yang ada di sampingku. Namun, aku yakin itu bukanlah sosok genderuwo. Itu adalah …
*Buku masih bisa dipesan ya. terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOKTAH DARAH MALAM PERTAMA
HorrorMurti adalah seorang janda berusia 27 tahun. setiap menikah, suami-suaminya selalu meninggal secara misterius. apa yang terjadi? benarkah ia adalah wanita Bahu Laweyan yaitu wanita pembawa sial dan kutukan?