"Toar udah kuliah Ge?".
Mata gue bergantian memandang cewek di sebelah dan bocah cowok yang lagi ketawa-ketiwi bareng temennya di antara ratusan peserta ospek.
Sudut bibir dan sebelah alis Gea terangkat secara bersamaan seperti melakukan screnshoot wajah. "Iya, jagain ya adek gue. Jangan lo kerjain sampe nangis".
Geezz gue yakin bangat bukan gue satu-satunya orang yang tau kalau laki-laki yang sedang memakai tas karung disana bukanlah tipe cowok yang gampang nangis hanya karena di kerjain senior. Gea -kakak sepupunya Toar- juga tau.
Toar sekarang keliatan lebih tinggi. Kata Gea dia suka main basket makanya lengan kurisnya yang dulu sekarang di tempeli bisep-bisep gitu loh. Warna kukitnya yang dulu agak pucet sekarang lebih gelap.
"Nggak kerasa ya.. padahal setahun lalu masi pake seragam tu anak". Pikiran gue memburam, ditarik ke kejadian setahun lalu.
.......
Gue adalah tipe manusia yang mengagumi orang yang berinisiatif melakukan/mengerjakan sesuatu padahal bukan porsinya. Dia nggak harus melakukan itu tapi dia lakuin. Sama kayak yang di lakukan Toar sekarang. Meskipun dia masi SMA , dia berusaha mengambil bagian dalam obrolan politik di antara Ethan dan Arga. Wich is mereka bedua adalah senior semester tua di kampus.
Toar yang kata si Moura, manis karena lesung pipit dan gigi tungkaknya. Toar yang kata si Daisy, 'cool' karena pendiemnya. Ternyata bisa jadi Toar yang keliatan dewasa dimata gue saat ini, karena sikapnya. No, gue nggak suka sama Toar. Bocah is not my style. Terlebih gue bukan orang yang suka jatuh cinta duluan. Sama brondong lagi. Cukup Moura sama Daisy yang nge fans sama tu anak.
"Sofie, kayaknya gue nggak bisa bawa motor, tangan gue lagi sakit. Lo dibonceng sama Toar aja ya". Ucap Gea menggerak-gerakan tangan. Sebelumnya gue di boncengin Gea dalam perjalanan ke pantai.
"Trus lo sama siapa?".
"Nanti sama kak Ethan". Katanya. "Atau lo mau sama kak Ethan, biar gue sama Toar?"
Kak Ethan dengan cara bawa motornya yang kayak orang kesetanan itu(?) Mana pake motor cross lagi. Sudah pasti nggak lebih baik dari Toar yang memungkinkan mudah buat di atur-atur. "Nggak deh. Mending gue bareng Toar aja".
Sepuluh menit di motor bareng Toar, tanpa obrolan berarti. Kecuali pertanyaannya yang bilang, "hujan awet ya kak". Yang gue balas dengan singkat. "Hooh".
Yep hujan, dan gue cuma pake jaket yang di pinjemin Gea waktu dijalan. Tiba-tiba, tangan gue -yang gue taru dipaha- dipegang oleh cowok didepan gue ini. Apaan neh? Gue blank dikit mencoba baca maksud Toar megang tangan gue.
Otak gue kembali memutar skenario dimana Toar menggendong gue di pantai tadi untuk di jatuhin ke air. Atau saat gue merasa ada yang nyentuh rambut gue dan saat gue nengok kebelakang ada dia. Ada Toar. Ini nggak ada maksud yang berkesinambungan kan?
"Nggak dingin kak?" Tanyanya memanggil kembali kesadaran gue. Astaga apa si Fie.. pikiran lo aneh-aneh. Jelas-jelas Toar tu bermaksud ngangetin tangan gue, sama kayak yang dilakuka temen-temen cowok lainnya kalau boncengan. Bedanya Toar bukan temen cowok gue. Tapi dengan inisiatif dia perlakuin gue begini, buat gue lagi-lagi muji keluarga dimana dia dibesarkan. Care anaknya. Gea pasti sering di giniin sama Toar.
"Dingilah" jawab gue yang buat dia serta-merta memegang tangan gue lama dan berulang-ulang sepanjang jalan.
"Gue peluk aja ya Ar, dari pada lo nyetir sebelah tangan". Selain itu, keliatan posisinya nggak nyaman kalo Toar ngulurin tangan kebelakang hanya untuk mengenggam tangan gue.