Pagi ini Irene berjalan lunglai mendekati gerbang sekolah yang cukup ramai. Langkahnya terasa berat dan dia belum pernah merasa semalas ini untuk pergi ke sekolah. Liburan musim panas baru saja berakhir, bukannya menghabiskan waktu dengan pergi bersenang-senang, dia malah dipaksa menerima kenyataan menyakitkan saat sang ayah dengan tanpa diduga pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Mr. Bae mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian pada saat mobil ambulans yang dipanggil oleh pejalan kaki yang memang kebetulan lewat nyaris sampai di tempat tersebut.
Irene ingat menghabiskan stok tissue dikamarnya dan hampir tidak bisa tidur dengan nyenyak saking kepikiran. Dia sadar hal itu sangat tidak baik, pola makannya pun ikut kacau. Apalagi hal itu terjadi selama kurang lebih 3 Minggu dia berada di rumah. Dan sekarang, sekolah sudah kembali dibuka dan mengharuskan Irene pergi meninggalkan kamarnya yang nyaman, juga semua pikiran tentang ayahnya yang sudah tenang di alam sana.
Meski enggan, Irene lebih tidak siap jika nilainya harus turun atau rekor kehadirannya kacau karena membolos.
Untuk sekarang, pilihan terbaik yang dia miliki hanya kembali meneruskan hidup. Ayahnya pasti tidak ingin melihat dia berlarut-larut dalam kesedihan sementara ada begitu banyak hal yang harus dilakukan. Termasuk menguatkan sang ibu yang menjadi orang paling hancur atas kejadian ini.
Benar, dia harus kuat. Untuk ibu, juga kakak laki-lakinya. Untuk kedua anggota keluarganya yang tersisa.
"Irene!"
Irene tersenyum lemah, matanya tertuju pada sosok Joy yang berdiri beberapa meter didepannya.
"Joy."
Gadis yang dipanggil serta merta berlari mendekati Irene kemudian dengan tiba-tiba memeluk tubuhnya erat. Irene hampir kehabisan nafas dan baru saja mau protes, tapi saat mendengar suara isakan yang berasal dari sahabatnya, dia urung melakukan itu. Malah, tangannya bergerak naik untuk membalas pelukan Joy.
"Maaf aku gak bisa datang ke pemakaman. Aku menyesal karena enggak bisa pulang, aku—"
"Sudah, sudah, tidak apa-apa." Irene menepuk-nepuk punggung Joy yang bergetar kecil. Mengingat kedekatan Joy dengan keluarganya, Irene tidak heran kenapa dia bisa jadi seterpukul ini saat mendengar kabar itu.
"Kita baik-baik saja, kok. Ayah juga sudah baik-baik saja disana. Udah jangan sedih lagi, malu diliatin anak-anak yang lain." Meski dengan mata berkaca-kaca, Irene mencoba mengangkat sebagian perasaan berat dan bersalah yang pasti bersarang di hati Joy. Mereka sudah mengenal cukup lama untuk tahu perasaan masing-masing tanpa harus mengatakannya dengan lantang.
Joy mengangguk, tersenyum kecil kemudian menyeka air mata yang mengotori pipinya.
"Ayo masuk ke kelas!" Katanya sambil menarik tangan Irene menjauh dari koridor yang ramai.***
"Ternyata benar. Ada yang berubah dari penampilan kamu." Ujar Joy tiba-tiba setibanya mereka duduk di dalam kelas. Dia terus memperhatikan Irene yang tengah bergerak tidak nyaman karena ternyata bukan hanya Joy yang dengan terang-terangan memandanginya. Seluruh murid yang berada di kelas dengan tidak sopan memelototinya seolah Irene bukanlah siswi yang berasal dari sekolah ini.
Joy berdecak, merogoh sesuatu dari dalam tasnya kemudian mengeluarkan alat make up yang selalu dia bawa ke sekolah. Dia menggeser kursinya mendekati Irene, lalu tanpa aba-aba segera meraih rambut gadis itu untuk dia sisir.
"Kamu gak ngaca dulu apa sebelum berangkat ke sekolah? Bisa-bisanya pergi ke sekolah dengan penampilan kacau begini. Pantesan dari tadi mereka gak berhenti ngeliatin kamu." Ujar si gadis Park setengah berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love War
Teen FictionIrene merutuki nasibnya yang berubah 180 derajat hanya karena kehadiran Wendy dan Seungwan. Dua bersaudara yang bersifat bertolak belakang. Seolah belum cukup, kedatangan Seulgi malah membuat semuanya tambah rumit. Irene dipaksa memilih salah satu d...