It's My Turn To Cry

100 2 0
                                    

Potret itu terlepas dari bingkai saat Fiona melemparnya ke dinding kamar. 

Aku hanya bisa mengatupkan mulut saat melihat Fiona melakukannya. Ini berbeda dari hari-hari biasanya, dimana ia datang dan menyalahkanku dengan semua keadaan. 

Mengerti. Itulah yang sering ia tuntut padaku. Aku tahu ia itu tertekan. Aku tahu kehidupannya tidak seindah dari yang orang-orang lihat. Karena pada kenyataannya, di balik senyumnya, ia menyembunyikan kenyataan pahit.  

Orangtuanya bercerai saat hubungan kami berada di sekitar dua tahun, tepatnya lima bulan yang lalu. Walau sesungguhnya perceraian itu tidak dilangsungkan secara sah. Ibunya memilih angkat kaki dari rumah dengan selingkuhannya. 

Sejak saat itu, Fiona-ku yang manis berubah secara perlahan. Memanfaatkan segala situasi untuk kesenangannya sendiri. Ini seperti bukan dirinya. Fiona-ku bukan orang yang menyukai clubbing, minuman keras dan semacamnya. Tapi inilah sosoknya yang sekarang. Bahkan bukan pertama kali aku melihatnya diantar pulang oleh laki-laki lain yang berbeda setiap harinya. 

Aku pernah memintanya untuk berhenti, tapi ia menangis dan mengatakan bahwa aku tidak mengerti. 

Dan yang terjadi hari ini adalah sebuah pemberontakan dari diri kami masing-masing. 

"Ini hidup aku! Kamu gak bisa ngatur itu!" satu bentakan lagi saat Fiona menatapku dengan tidak terima. 

Aku masih mencoba bicara baik-baik. "Aku cuma ingin yang terbaik buat kamu. Mana ada orang yang membiarkan pacarnya keluar setiap hari dan diantar pulang oleh laki-laki lain sampai subuh?" 

"Otakmu itu terbentur atau apa?" Fiona menunjuk wajahku. "Kamu bahkan gak peduli dengan cara aku berpakaian, kenapa sekarang kamu malah mengomentarinya? Ditambah dengan siapa aku berteman! Memang sebelumnya kamu peduli?" 

Aku menyentuh bahunya tapi ia menepisnya. "Aku melakukan itu karena aku sayang padamu, Fion." 

"Sayang?" Fiona tertawa merendahkanku. "Sayang kamu bilang? Selama ini kamu kemana? Pernah kamu nunjukin rasa sayang kamu ke aku?" 

Untuk yang kesekian kalinya aku diam. Bukan artinya aku kalah dalam bicara, aku hanya ingin Fiona berpikir. 

Tapi rasanya dia dikuasai ego-nya sendiri. 

"Kamu ngaca, betapa bodohnya kamu! Kamu sekarang melarang aku buat pergi dengan siapapun sedangkan dulu kamu bilang 'iya'! Kamu sekarang melarang aku untuk memakai pakaian sependek apapun sedangkan dulu kamu bilang 'boleh'! Kamu sekarang melarang aku buat-" 

"Aku melakukan itu semua dengan alasan." aku memotong ucapannya dan Fiona tidak terima. 

"Alasan?! Alasan macam apa?!" 

Lagi-lagi aku diam. 

"Aku muak, Nathan. Aku muak sama kamu!" 

Aku tetap berdiri, diam dalam posisiku sementara Fiona mulai berjalan mondar-mandir sambil mengacak rambutnya karena kesal. Lalu dia berhenti dan menatapku kembali. 

"Sekarang bilang, mau kamu apa? Aku gak suka diatur! Aku lebih suka bebas!" 

Aku tidak bergeming. 

"Nathan!" Fiona menamparku. "Jangan diem aja! Hargai aku bicara!" 

Tamparan itu sama sekali tidak menyakitkan. Tapi sesuatu di dalam dada ini. 

"Aku ingin kamu yang dulu! Aku ingin kamu yang membiarkan aku bebas!" 

"Aku yang ingin kamu yang dulu." aku menekankan kalimatku dan menatap matanya. "Di antara kita sekarang, seharusnya aku yang menuntut masa lalu, bukan kamu." 

Fiona yang tampak mau membalas ucapanku, menelan kembali kalimatnya. Dia membalas tatapanku dengan mata yang membulat. 

"Kamu mengira selama ini aku berkata 'iya' berarti 'iya'?" 

Aku tahu Fiona ingin membalas kalimatku, tapi lidahnya terlihat kelu. 

"Aku berusaha membuat kamu berpikir, Fion. Aku ingin kamu bisa mengerti dan menghargai perasaan aku." 

Fiona mengatupkan bibirnya rapat. 

"Aku mencoba mengerti kamu, tapi kamu mulai keluar batasan. Sejujurnya aku gak bisa membiarkan kamu berpakaian seenaknya dan berjalan dengan laki-laki berbeda setiap harinya. Aku gak bisa membiarkan kamu di pandang rendah oleh mereka. Tapi kamu yang mempersilahkan semua itu terjadi." 

Kulihat matanya mulai bergetar, tapi dia tetap menahan mimik wajahnya untuk tidak terlihat rapuh. 

"Mereka berani menggenggam tanganmu, merangkulmu bahkan mencium pipimu di depanku. Kamu tau artinya itu apa?" 

Dia diam tidak menjawab. 

"Itu artinya mereka sudah tidak menghormatimu sebagai perempuan." 

Waktu berlalu terasa berat. Ruangan ini seakan menyekap kami dalam segala emosi. 

"Dan aku merasakan sakit," suaraku merendah saat aku menyentuh dadaku sendiri. "disini. Aku sakit melihat perempuan yang kucintai dianggap rendah seperti itu." 

Kedua bolamata itu bergetar semakin kuat, sampai akhirnya sebulir air mata jatuh tapi Fiona dengan cepat menyekanya. Dia masih bertahan dalam kebisuannya di hadapanku, membiarkan aku mengeluarkan semuanya. 

"Senyum yang selama ini kamu lihat, hanyalah topeng untuk menyembunyikan airmataku. Aku merindukan masa-masa indah kita dahulu, Fion. Aku menyayangimu. Aku ingin Fiona yang dulu, yang selalu tersenyum, yang tidak membiarkan sembarang laki-laki lain mengetahui kehidupannya, yang tidak pernah mau akrab dengan minuman keras." 

Fiona menggigit bibir bawahnya dan menjauhkan pandangannya dariku. 

"Memangnya kamu gak rindu dengan dirimu yang dulu?" 

Tidak ada jawaban yang aku terima. 

"Aku tau berat rasanya saat masalah itu menimpa keluargamu. Tapi ini bukan jalan keluar. Masih banyak yang mencintaimu. Mereka yang tulus, bukan mereka yang memanfaatkanmu." 

Kulihat, tetesan airmata itu berjatuhan di lantai. 

"Dan aku." 

Aku mendekat lalu mendekapnya. 

"Maafkan aku karena memberitahumu apa yang aku rasakan selama ini." 

Karena ini adalah saatnya untukku menangis. 

Perlahan, Fiona mulai membalas pelukanku. 

It's My Turn To Cry 

Oleh: Ain't Sky

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It's My Turn To CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang