Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"We have to give it a try. Or else, we will spend the rest of our lives wondering what would happen if we did"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mbak jangan suka bawa yang berat-berat, entar nyusut. Kalo lebih kecil dari ini nanti saya susah nyarinya."
"Ya terus kenapa?"
"Kalau saya kangen gimana?"
Kalau orang-orang biasanya sarapan bubur ayam, saya seringnya sarapan gombalan dari anak ayam.
Oh, ini bukan cerita fabel, kok. Bukan cerita fantasi juga. Kami sama-sama manusia. Yang tadi ngomong sama saya itu namanya Sungchan, karyawan yang, dibilang baru kerja di sini enggak, dibilang sudah lama juga enggak. Dia bergabung sekitar 5 tahun setelah saya, dan 1 bulan yang lalu, genap 2 tahun sudah dia bekerja di perusahaan ini. Pekerjaan utamanya di divisi IT. Pekerjaan sampingannya, mengekori saya ke sana-kemari.
Baper?
Tentu tidak.
Malah cuma geleng-geleng kepala saking sudah terbiasanya. Namanya juga anak-anak. Lagi suka-sukanya bercanda.
"Mbak, tadi kan udah saya bantuin. Nggak ada niatan mau ngasih saya imbalan apa kek gitu? Bikinin kopi misalnya, atau pijit-pijit dikit sebelum lanjut kerja. Atau kalau mau, makan siang bareng juga boleh."
Memasang senyum termanis sampai dibalas dengan hal yang sama, wajah saya berubah datar seketika. "Enggak," tolak saya. "Lagian yang nyuruh kamu bantuin saya siapa? Saya kan nggak minta."
"Ya ... ya nggak ada, sih." Sungchan garuk-garuk kepala. Bibirnya sedikit mengerucut, matanya tertuju ke alas kaki saya. "Soalnya Mbak yang pake sepatu tapi saya yang ngeri," lanjutnya, mengacu pada stiletto 10 senti yang saya kenakan. "Kalo nanti kepleset gimana? Kalo tiba-tiba jatuh terus keseleo gimana? Kalo nggak sengaja nabrak orang gimana? Kalo—loh? Mbak! Kok pergi, sih?"
Tanpa repot-repot menoleh ke belakang, saya berhenti. "Tadi katanya mau dibikinin kopi? Nggak jadi?"
