Part 1

5 0 0
                                    


Wanita muda berusia dua puluh lima tahun itu terlihat sangat gelisah. Sedari tadi dia terus saja mondar-mandir di ruang rawat inap, pemandangan indah di luar jendela seakan tak mampu membuat perasaannya membaik. Sesekali netranya melirik jam dinding, waktu sudah menunjuk pukul 09.15, tetapi orang yang dinanti tak juga menunjukkan batang hidungnya.

"Duduk, May ... pusing Mas lihatnya," tegur Harris, suami Maya yang tengah duduk tak jauh darinya.

Maya menatap lelaki itu sejenak, lalu kembali pada aktifitasnya tanpa memedulikan teguran Harris. Maya hanya ingin secepatnya bertemu dengan dokter, meminta  penjelasan tentang bagaimana keadaan Fajar yang sebenarnya. Dengan begitu, dia berharap pikirannya bisa kembali tenang seperti semula.

Pintu yang terbuka membuat Maya bisa sedikit bernapas lega. Wanita itu akhirnya terdiam, netranya kini menatap seorang dokter laki-laki yang terlihat sebaya dengan suaminya. Dokter yang sedari tadi dia tunggu itu memasuki ruangan bersama seorang perawat perempuan. Seperti biasa, dokter itu pun tersenyum dan menyapa mereka dengan ramah.

"Selamat pagi. Waktunya pemeriksaan rutin, ya."

"Pagi, Dok," balas Harris dengan senyum tipis.

Biasanya, Maya lah yang lebih antusias membalas senyum serta sapaan Dokter Dimas. Pada dasarnya, Maya memang wanita yang cukup ramah dan ceria, sehingga dapat dengan mudah mencairkan suasana.

Akan tetapi, tidak dengan hari ini. Wanita itu menghela napas, dia menggerutu tidak jelas sambil menunggu dokter selesai memeriksa putranya.

"Dok, sebenarnya keadaan anak saya ini, gimana? Kenapa dari kemarin belum ada kejelasan juga? Hasil lab-nya sudah keluar, kan? Ini sudah hari keempat loh, Dok!" cerca Maya dengan tidak sabar, saat melihat dokter tengah berbenah.

Dokter Dimas mengernyit, menatap Maya dengan tatapan heran. Tidak biasanya Maya bersikap demikian. Dia lalu tersenyum, berusaha bersikap setenang mungkin sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Maya.

"Kalau dari hasil laboratorium kemarin, kami menyimpulkan kemungkinan adanya epilepsi. Tapi, kami belum sepenuhnya yakin. Sebab, jika dilihat dari pemeriksaan fisik, baik kondisi tubuh maupun leher pasien terlihat baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kekakuan pada anggota tubuh, seperti gejala yang seharusnya."

Maya tertegun. Dia menatap dokter, menggeleng tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Lalu, kenapa dokter tidak memberitahu kami? Kami ini orang tuanya, loh, Dok!" Protes Maya, merasa tak terima.

Kenapa dokter harus menyembunyikan hal sebesar ini dari keluarga pasien? Apa pun alasannya, ini tidaklah benar. Seburuk apa pun kondisi pasien, keluarga berhak untuk tahu.

"Kami sedang berusaha melakukan yang terbaik, Bu," ujar dokter Dimas tanpa merasa bersalah. Dia pun berbalik dan meninggalkan ruangan itu.

Maya benar-benar tidak habis pikir dengan sikap dokter Dimas. Dia mengacak rambut, pikirannya kacau. Bingung dengan perlakuan aneh dari rumah sakit, juga masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Aku, harus bagaimana?

Ada rasa sesak yang kini mengganjal di hati Maya. Dia memandang suaminya, lelaki itu mengusap wajah dengan kasar, nampak sama bingungnya.

"Epilepsi? Apa itu mungkin, May?"

Maya memandang wajah polos putranya. Bocah itu masih saja terlelap, seakan tak peduli sama sekali dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Sesekali tangan Maya mengusap lembut dahi Fajar, keadaan bocah itu membuat hati Maya semakin nelangsa. Tubuh yang semakin mengurus, bibir yang mulai mengering membuat hatinya begitu terluka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CAHAYA FAJARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang