1. Bagaimana Sebuah Awal

7 1 0
                                    

Tampilan lusuh, penuh debu tapi tak terpengaruh dengan bentuk. Bukankah permulaan dari semesta adalah sebuah partikel debu? Bedanya kini, membentuk suatu planet yang salah satu planetnya memiliki sekumpulan makhluk hidup bernyawa.

Bumi sebagai persinggahan, lain dengan planet merkurius, venus, mars, jupiter, saturnus, uranus, neptunus di mana bumi menduduki peringkat ke tiga dari planet yang terdekat dengan bintang besar bernama matahari. Beberapa manusia mendewakan matahari sebagai Tuhan, beberapa lagi mendewakan suatu benda yang dianggap kramat sebagai sesembahan.

Selucu itu, sesederhana itu beberapa orang percaya. Namun Rareina, gadis itu hanya tersenyum kecut.

Baginya, terlalu jauh, terlalu tinggi, dan ngimpi untuk bisa seperti matahari yang katanya diagungkan karena manfaat dan juga sinarnya yang penuh kemilau.

Wajahnya kusam, kulit kering dengan beberapa bekas jerawat malang melintang. Ia anggap ini seperti kutukan. Hanya dia seorang yang merasa bahwa jelek tidak seperti kakaknya yang rupawan dan adiknya yang sungguh menawan. Apalah ia?

Jika pernah ada perbandingan bilamana Einsten dan Marlyn Monroe menikah? Maka wajah rupawan nan cerdas akan menurun ke anak itu sebuah kemungkinan besar tapi bagaimana jika sebaliknya? Ia akan menuruni sifat wajah sang ayah dan otak kerdil wanitanya?

Itulah yang dihadapi Rarein. Rein hanya bisa menangis, keadaan ia memang agak sadis tapi beginilah.

"Rein!"

Seorang terkenal di kelas memanggil Rein yang tengah memainkan musik mp3 di hapenya. Ia tipe orang penyendiri dan tak suka diusik tetapi jika seorang itu terkenal maka ia akan menurut seperti kerbau dicocok hidung. Dengan permukaan wajah yang begitu dan otak pas-pasan mana bisa Rein bersikap tak menurut?

"Rein!"

Sekali lagi, panggilan Jessy terdengar. Ia adalah wanita populer dengan outfit terbaru nan mahal. Meski di sekolah yang negri—pembullyan bukan tak lagi berarti.

"Hei Rein! Gadis jelek!"

Kali ini Jessy membentak sekaligus melepas paksa kabel henset yang terpasang di kuping Rein dengan kasar. Rein yang terkejut menatap Jessy dengan takut. Ia khawatir hal buruk akan lebih lagi menimpanya—ia memilih untuk membelikan beberapa camilan segera untuk Jessy dan kedua kawannya yang nampak setia.

Jessy yang baru saja membangkitkan Rein dari diam hanya tertawa diikuti teman sekelas dengan asyik. Ia sangat menyukai tindakan Rein yang bodoh dan jelek itu langsung tahu tanpa perlu ia berucap lagi.

Bukan tak biasa memang sudah biasa dengan hampir setiap hari Jessy memperlakukan Rein dengan demikian.

"Hahaha, gadis itu memang bodoh!" Celetuk Jessy yang dibarengi tawa sekelas.

Ilya, seorang kutu buku yang satu dua dengan Rein mendengus sedih. Bagaimana Jessy selama ini bersikap pada Rein. Namun ia mana berani melawan karena Jessy adalah ketua geng di kelas dan pacarnya adalah seorang kuasa di sekolah jadi jika berurusan bersiaplah dengan pacarnya.

Hingga Ilya hanya bisa menatap sendu, memeperbaiki kacamata dan kembali membaca buku favoritnya.

*

Ibu kantin sudah hapal ketika gadis itu datang siang ini, maka membeli seporsi bakso paket komplit dengan saus banyak tanpa sayur toge tapi di campur mie kuning yang tentunya tanpa penyedap rasa hanya sedikit garam dengan takaran seperempat sendok teh.

"B-"

"Bakso komplit tanpa toge dan penyedap rasa tapi kasih saus banyak dan mie kuning dengan garam seperempat sendok teh," jawab Bu Merlin pemilik kantin penyedia bakso.

"Iya, Bu," balas Rein sembari membenarkan letak kacamata besarnya. Bu Merlin hanya tersenyum kecil sebelum pesanan Rein sampai.

Nampak riuh bisik-bisik temannya yang Rein sendiri sudah hapal. Ia hanya menghelakan napas. Malas dan tak perlu berurusan panjang dengan hal ini. Toh, ia hanya ingin kehidupan SMA-nya lancar tanpa gangguan. Lebih lagi dari Jessy dan kelompoknya yang kerap merundung Rein dengan semena-mena.

"Ini."

Bu Merlin menyerahkan nampan berisi bakso pesanannya. Rein balas senyum sembari mengeluarkan isi kantong untuk membayarnya.

Orang-orang yang berada di kantin itu kembali bergunjing. Memancing sedikit amarah Rein yang nampak acuh tak acuh. Ia cukup embuskan napas kemudian melangkahkan kaki dengan pasti. Tanpa perlu lihat kanan kiri yang senang memandangnya rendah.

"Awhh!"

Seorang siswa nampak senang menjaili Rein. Rein yang membawa nampan bakso hampir tersandung kalau saja ia tak memegangnya dengan kuat.

"Bisa beri jalan?" Rein meringis, memohon sekaligus menahan sakit di kaki. Tapi tak apa selagi makanan yang ia bawa untuk Jessy tak jatuh ke lantai.

"Kau berani? Sama aku?" cewe itu bersidekap. Matanya benar-benar menusuk Rein. Namun gadis berkucir kuda itu tak menjawab membuat si pengusik tersenyum sinis dan membiarkan Rein pergi dengan selamat.

*

"Ini, pesanannya," kata Rein menyerahkan semangkok bakso yang berhasil ia bawa selamat meski sedikit terlambat.

Jessy saat itu tengah duduk di kursinya. Sedangkan kedua kawannya mengelilingi si ketua dengan menggeserkan salah satu kursi yang tak terpakai. Ia tak menyahuti perkataan Rein karena nampaknya tengah membicarakan topik yang sangat menarik hingga Rein menaruhkan saja nampan berisi bakso itu di atas meja mereka.

Bunyi derak dari nampan terdengar, membuat Jessy terhenti bicara dan menatap gadis udik itu dengan pandangan kesal.

"Kau?"

Kawannya yang duduk sisi kanan kiri ikut menatap kemana arah lawan bicara Jessy. Rein hanya menundukkan kepala begitu mereka berdiri kompak ingin merundungnya kembali.

"Hei muka bakso! Kau mulai berani sama aku—Jessy?"

Rein semakin menunduk, kacamata yang merosot ia benarkan sedikit lalu ia bicara lirih. "Aku—aku tak bermaksud."

Jessy sudah geram. Ia  mengambil langkah untuk menunjukkan wajah Rein yang memerah akibat sinar mentari menerpanya hingga memerah. Jerawat yang dimiliki pun nampak ada yang meradang. Jessy memandangnya dengan jijik tapi ia ingin mengajari sopan santun gadis jelek itu.

"Hei Rein! Kau tahu kau itu seperti apa?"

Rein mengangguk. Kepalanya tak berani menatap penuh Jessy yang berada dihadapannya.

"Hei, jelek! Wajahmu itu di bawah standar dan kau harusnya sadar hal itu!"

Jessy kembali berucap. Rein ingin menangis namun ia tahan hingga memerah. Ia sudah tak sanggup dipermalukan sekaligus teman sekelasnya yang masih ingin melihatnya sengsara seperti ini.

"Kau itu jelek, Rarein!" Jessy berucap yang kali ini menunjuk dahi Rein dengan tangan kirinya kemudian sadar bahwa ada jerawat yang sempat ia tempel, ia berjengit jijik. "Ewh, aku menempelkan jemariku di wajah jeleknya."

Jessy meminta Salsa untuk mengambilkan hand sanitizer kepadanya. Rein yang kalut pergi, meninggalkan kawanan yang senang membuat Rein tersingkir dari golongan mereka.

Rintik akhirnya runtuh kala Rein berhasil menaiki tangga untuk sampai ke roftoop gedung sekolah. Tangis sesenggukan dengan lelehan yang berusaha untuk ia sapukan lewat lengan jas sekolah yang ia kenakan.

"Hiks... kenapa harus aku? Kenapa? Hiks."

Sedari isak yang lekas keluar semakin deras lelehan matanya. Hal itu membuat kacamata yang dikenakan buram dan Rein mengelapnya kasar dengan jas miliknya.

"Hiks... Kenapa dunia kejam seperti ini? Kenapa? Hiks ..."

Rein terus menggaungkan tangis sampai mata memerah sembab. Ia biarkan angin menerbangkan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan. Rein perlahan tenang, hendak saja ia ingin kembali kelas karena ada tugas yang belum tuntas.

"Hei!"

Suara itu menggaung, membuat Rein terdiam di tempatnya berpijak. Siapa gerangan? Hendak saja ia membalikkan badan namun suara itu yang ia cari berasal dari mana malah tak ada bekas. Apa Rein berhalusinasi?


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Star falling From HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang