"Pemirsa, inspirasi bisa berasal dari mana saja dan dari siapa saja. Kali ini, kita akan mendapatkan inspirasi dari seorang pengusaha muda sukses yang kariernya sedang melambung tinggi saat ini. Telah hadir bersama kita semua di studio ini, Mas Vano Angga Danendra, apa kabar Mas Vano?" Sapa seorang perempuan pembawa acara berjudul "The Inspiration" yang sedang kuhadiri saat ini.
"Baik, Alhamdulillah," jawabku ramah.
"Pemirsa, Mas Vano ini merupakan salah satu dari 25 pengusaha muda sukses saat ini. Beliau akan berbagi kisah inspiratif mengenai kesuksesannya. Kami dengar, setiap Anda menghadiri sebuah acara dan seminar, Anda selalu menyebutkan satu sosok yang menjadi alasan terbesar kesuksesan Anda saat ini. Cerita Anda tersebut selalu berhasil membuat yang mendengarnya mendapatkan inspirasi. Sosok tersebut adalah kembaran Anda sendiri, bukan begitu Mas Vano?"
"Benar"
"Kalo begitu, Anda harus menceritakannya juga di acara kami kali ini. Baik, Mari kita mulai saja pemirsa. Selamat mendengarkan cerita inspiratif dari pengusaha muda berbakat, Vano Angga Danendra...."
Semua kamera mulai menyorot kepadaku sepenuhnya, menampilkan diriku seorang yang sedang duduk. Cahaya lampu mulai dibuat sedikit redup, menimbulkan keheningan di studio syuting ini. Acara ini mirip dengan acara-acara TV yang menayangkan cerita hijrah dari para artis/orang ternama.
Aku menarik napas, membuangnya perlahan, dan mulai bercerita.
"Nama saya Vano Angga Danendra, anak kedua dari dua bersaudara. Kakak yang sekaligus merupakan kembaran saya, namanya Vino Angga Danendra. Kelahiran kami hanya selisih 5 menit saja. Kami kembar identik. Wajah, tubuh, semuanya hampir terlihat sama. Tapi, sayangnya ada satu hal yang membuat kami menjadi terlihat sangat berbeda. Saya tumbuh sehat, Vino tidak. Dia menderita autisme. Mungkin sebagian dari kalian sudah tau mengenai apa itu autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan serius yang mengganggu kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi. Gejalanya mulai terlihat saat umur kami 3 tahun. Ibu dan Ayah sangat sedih mendengar kabar itu dari dokter, mereka sangat terpukul, tapi mereka berusaha ikhlas menerima takdir tersebut.
Vino selalu asik sendiri, bicaranya pun tidak lancar, terpatah-patah. Mentalnya sangat buruk. Dia akan tiba-tiba mengamuk jika ada sesuatu yang membuatnya merasa terganggu. Tapi, entah mengapa, dia tidak pernah marah kepada saya. Dia selalu mengikuti kemanapun saya pergi bermain. Saat usia 5 tahun, Saya mulai menyadari dan memahami kalau Vino berbeda dari saya dan teman-teman yang lainnya. Menyadari perbedaan tersebut, saya mulai tidak suka padanya. Teman-teman selalu saja mengejek saya, bahwa saya memiliki kakak yang idiot. Saya sangat kesal. Ketika di rumah, saya selalu melampiaskan kekesalan itu kepada Vino.
'Jangan Mengikutiku terus Vino! Main saja sendiri!' Bentakkan itu menjadi hal yang selalu Vino dapatkan dari saya.
'Vin...Vino...Vino hanya ingin ma...ma..in sama a..a..a..adek,' begitu jawabnya.
Ibu dan Ayah tidak tahu perlakuan saya terhadap Vino, karena mereka sibuk, jarang sekali berada di rumah. Ayah sibuk di kantor dan ibu sibuk mengajar di kampus. Kami pun diurus oleh bibi. Meskipun sibuk, ibu dan ayah tidak pernah lupa untuk memberikan kasih sayang dan pendidikan kepada kami. Terutama pendidikan agama. Orangtua kami taat dalam beribadah. Pendidikan agama sudah kami dapatkan sejak kecil, termasuk dengan praktik pelaksanaan ibadah. Ada satu pengajaran yang mereka sampaikan, yang sampai sekarang tidak pernah saya lupakan. Berdoa. Mereka bilang, jika saya ingin membuka pintu kesuksesan saya, maka berdoa adalah kunci utamanya. Karena doa memiliki kekuatan yang dahsyat dalam melakukan hal itu. Sejak saat itu, saya selalu berdoa setiap selesai salat, tidak pernah terlewat, untuk mengutarakan semua mimpi-mimpi saya. Vino juga selalu berdoa. Dia selalu terlihat khusyuk saat berdoa setelah salat," Aku terdiam sesaat, mengingat momen saat ayah dan ibu mengajariku dan Vino tentang berdoa.
