EPISODE 3

15 3 0
                                    

“HEH!” aku keluar dari zona beku ini.

Sudah kali kedua untuk hari ini. Aku berteriak, membuatnya kaget. Dia mengangkat kepalanya.

“Kenapa?!” tanyanya khawatir.
“Tuh kan basah, sembarangan banget sumpah,” aku mengeluhkan bagian pundakku yang basah karena keringatnya.
“Cuma sedikit itu!” – Jaeguk
“Sama aja!” ucapku sambil mengembalikan kamera miliknya.

Aku beralih membuka koran tersebut. Aku buka perlahan hingga mencapai halaman lowongan kerja.

Sama seperti biasanya, banyak terpampang brosur-brosur norak. Beberapa pekerjaan sama membosankannya dengan yang ada di koran murahan. Hanya saja mungkin grade nya lebih tingi satu level.

Yang mungkin awalnya hanya pelayan minimarket, kini di koran ini kau bisa menemukan lowongan di mall dan supermarket. Ini sedikit menggugahku, hanya sedikit sekali. Aku harap bisa menghubungi beberapa pekerjaan nanti.

“Kenapa gak cari di internet?” – Jaeguk
“Apa? Pekerjaan? Aku udah coba, tapi ya ditolak terus.” – Suran
“Mungkin kamu harus ngurangi sifat cuekmu, dan jangan nganggap remeh orang lain,” di sini aku terdiam.

Baru kali ini ada orang yang memberiku nasihat. Benakku serasa menolak pernyataan itu, seakan bentrok dan berkata kalau aku tidak seburuk itu. Cuek dan meremehkan orang lain. Tapi di hatiku, itu terasa benar.

Aku coba mengingat beberapa hal yang sudah berlalu. Tidak jauh-jauh, saat aku pertama kali bertemu dengannya. Aku terasa cuek dan remeh kepadanya. Jujur aku tidak bisa melihat sisi baik orang lain dengan sifatku yang seperti ini. Ini akan selalu membuat orang lain di mataku selalu buruk. Mungkin itu bisa berdampak bagi keputusan yang akan aku ambil.

“Hei! Udah-udah gausah dipikirin banget, cuma bercanda,” dia memecah lamunanku.

Aku tau mungkin yang dia katakan bukanlah candaan. Hanya saja dia ingin mencairkan suasana.

“Hei!” – Jaeguk
“Eh iya. Engga gapapa.” – Suran
“Kok bengong?” – Jaeguk
“Gapapa, makasih buat yang tadi,” kupikir berterima kasih kepadanya adalah langkah awal aku merubah sifatku.
“Yoi, santai.” – Jaeguk

Aku kembali membuka halaman koran itu. Di balik halaman ini, ada sebuah brosur menarik. Desainnya formal, banyak tulisan dan logo perusahaan. Ada logo kementrian nasional juga. Yang seperti ini, aku jarang melihatnya.

J-O-B   F-A-I-R

“Job-fair, job fair, ada job fair!! Aaaaaa!” seneng banget ada job fair setelah sekian lama.

Saking semangatnya, aku sampai memeluk Jaeguk yang ada di sampingku. Dia hanya terdiam kebingungan.

“Job fair? Kapan?” dia terlihat kebingungan. Perlahan dia mulai balik memelukku. Aku yang sadar kemudian melepaskan pelukan itu, malu.
“Eumm– maap tadi itu semangat banget –” – Suran
“Iya, iya… Seneng gitu kan –” – Jaeguk
“Heeh, excited banget demi apa –” – Suran
“Euphoria-euphoria – ” – Jaeguk
“Maap.” – Suran
“Santai, gapapa.” – Jaeguk

Agak canggung di momen setelahnya, ketika diem-dieman. Bukan cuma canggung, malu juga si soalnya baru sehari kenal, belum ada sehari malah. Masa iya baru kenal udah sedeket ini?

“Ada kan lowongan kerja fotografer di job fair?” – Suran
“Ada mungkin, harus ada si. Berangkat bareng mau gak?” Jaeguk yang nanya, aku yang deg-degan.

Ini pertama kali aku diajak sama cowo buat ke suatu tempat. Ya walaupun cuma ke job fair dan kita juga bukan apa-apa, tapi feelnya jadi beda aja gitu.

“Eumm- ya, gapapa,” agak ragu juga mau jawabnya. Tujuanku sebenarnya pengen ngajak Jidam ke job fair, tapi apa salahnya kan pergi bertiga.
“Emang kapan?” – Jaeguk
“Tanggal 7 Maret, 5 hari lagi berarti.” – Suran
“Oh oke, ntar kukabarin lagi.” – Jaeguk

Hari ini aku sudah cukup berjuang, itu menurutku. Begitupun Matahari, sudah saatnya dia pergi menghibur belahan Bumi yang lain. Awan lembayung mengantar Matahari tenggelam, juga mengantar aku dan Jaeguk untuk berpisah. Kita naik bus berlawanan arah, aku ke utara dia ke timur. Tapi, lupakan tentang kalimat puitis tadi, dan mari mengisi lambung dengan amunisi.

“Halo?” terdengar dering telepon dari handphoneku. Itu kakakku.
“Beliin dinner!” bukannya apa-apa ya Kak Soona, tapi kan saya miskin.
“Gapunya uang.” – Suran
“Ga masak hari ini.” – Soona
“Kenapa ga masak bund?” – Suran
“Males, mending beli aja,” lagaknya kek aku ada duit aja.
“Beli apa si?” – Suran
“Yang anget-anget.” – Soona
“Apaan?!” – Suran
“Bi-bim-bap…” – Soona
“Kubeliin, sampe rumah ganti ongkos yah.” – Suran
“Hmmm-“ – Soona

Dia Soona. Kakakku. Soona dan Suran. Beauty and Lampir. Soalnya dia bener-bener perfect, ya soal apa aja dia perfect, tidak seperti saya. Dia rajin, terampil, disiplin dan gembira. Dia juga bisa masak, public speakingnya bagus. Tapi soal bersih-bersih, aku jagonya.

Aku terpaut dua tahun dengannya. Aku 23, dia 25. Sedikit cerita tentang kakakku. Di masa fresh graduate-nya dia pergi merantau ke Busan. Bukan hanya rasa kehilangan sebagai seorang adik, tapi rasa khawatir melepasnya untuk hidup mandiri.

Diluar dugaan, Soona jadi orang yang sukses. Dia dapet kerjaan mapan, gaji lumayan dan bisa hidup tanpa uang orang tuanya. Ya otomatis itu jadi tolak ukur aku sendiri, aku jadi lebih percaya diri untuk merantau. Orang tua juga jadi lebih chill dan mengizinkan aku buat merantau. Tapi siapa yang tau, kalau sekarang justru kehidupanku berbeda 361° dengan kakakku sendiri.

Eits! Tapi ada benernya juga aku merantau sama kakakku. Kita udah ibarat partner yang saling melengkapi. Kita bahkan ga memerlukan komunikasi untuk mengetahui pikiran dan isi hati satu sama lain. Dari tatapan, kita bisa lihat apapun yang disembunyikan di baliknya.

Via suara kita bisa tahu sakit dan derita yang di rasakan. Yang paling istimewa dari ini semua adalah kita tak bisa tertutup dan berbohong satu sama lain.

Sampailah aku di depan kios bibimbap, ini enak ga ya? Jarang Soona meminta makan malam karena dia gak masak. Walaupun sebenarnya setiap hari, dia tidak selalu memasak makan malam sendirian. Pasti dia akan memasak makan malam menunggu kepulanganku, alias kita masak bersama.

“Permisi, pesan bibimbap-nya 3.” – Suran

Ini sudah malam, jadi kupikir akan lebih nikmat untuk lebih mengenyangkan diri. Lagipula aku pulang terlambat, jadi mungkin saja dia sudah sangat kelaparan. Kuharap dia adil membagi satu porsi tambahan itu, untuk kita berdua. Dia sering mengambil ekstra telurnya.

“Terima kasih.” – Suran

Jalanan malam masih ramai, tak ada yang perlu ditakutkan. Walaupun suhunya dingin di luar sini, tapi aku tak pernah merasakan hal aneh ketika aku pulang di malam hari. Butuh 15 menit sampai di rumah, butuh 3 menit untuk berjalan sampai depan rumah, dan butuh waktu sepersekian detik untuk melihat kejutan ketika masuk ke rumah.

Lilin wangi di ruang tamu dihidupkan, tenang Soona tidak percaya dukun. Lampunya diredupkan, kupikir Soona takut gelap, sesuatu mungkin membuatnya aman. Dia ada di ruang tengah, kudengar dia tertawa.

Benar saja, seorang pria yang tak asing wajahnya bagiku. Dia tidak terpaut jauh dari Soona, namun belakangan ini aku jarang melihatnya. Kini mereka berdua melihatku, tatapannya seperti melihat kurir makanan yang masuk ke rumah tanpa izin.

Dia tersenyum melihatku, begitu juga dengan Soona. Kukira Soona putus dengan pacarnya yang satu ini. Kim Taehyung.




VOWS OF LOVE - jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang