“Saya terima nikah dan kawinnya Namira binti —“
“Ahhh ...!” Amanda terbangun dari mimpi buruknya dengan napas terengah. Mimpi yang sama yang terus menghantuinya tiga hari belakangan.
"Astaghfirullah.” Disekanya keringat yang bercucuran di sekitar wajah. Terutama pada bagian kening sampai pelipis. Diam sejenak untuk mengatur napas lalu melirik pada jam dinding yang bertengger rapi di tembok kamarnya.
“Sudah semakin dekat rupanya. Waktu cepat sekali bergerak.”
Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Ia beranjak dari kasur, bergerak dengan mata yang terasa panas. Dia baru tidur pukul satu dini hari dan terbangun pukul empat. Total tidurnya hanya tiga jam, itupun dengan air mata yang tak henti mengalir sampai akhirnya terlelap total.
Sebelum pergi ke kamar mandi, Manda sempat menyalakan ponsel. Menunggu beberapa saat sampai layar ponselnya menyala. Boom message masuk. Beberapa dari teman kampusnya, sisanya didominasi oleh satu nama. Ah, nama yang tidak ingin Amanda sebut sebenarnya. Total ada 20 pesan singkat dan lebih dari 50 kali missed call.
Manda menarik napas dalam, tidak berniat membaca, tetapi pesan terbaru langsung menyambar. Ditariknya bagian paling atas pada layar ponsel. Sebuah pesan tertulis di sana.
(Berikan kesempatan padaku, Manda. Aku mohon. Kamu tidak tahu cerita yang sebenarnya. Aku tidak seburuk yang kamu kira. Kamu salah faham padaku.)
Cukup! Amanda melempar ponselnya sembarang. Beruntung jatuh di atas di kasur. “Aku salah faham? Tidak seburuk yang kukira, katanya? Padahal dia mau menikah, tetapi sempat-sempatnya memintaku untuk mendengar penjelasannya! Bismillah saja, Manda. Kamu tidak boleh luluh!” serunya menyemangati diri sendiri. Sebenarnya berbanding terbalik karena bulir kristal kembali menetes melewati kedua pipinya.
Amanda bergerak cepat meraih handuk yang tergantung di sisi kanan tembok, bersisian dengan gantungan baju. Saat ini mandi adalah pilihan terbaik untuk menyegarkan kepalanya. Satu gayung pertama berhasil membuat tubuhnya disergap rasa dingin. Sedikit menggigil dengan kedua tangan saling bergesekan.
“Apa aku sakit?” gumamnya. Bertanya pada diri sendiri yang jelas-jelas tidak akan mendapat jawaban. Dia hanya merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Biasanya juga dia mandi lebih awal, tetapi tidak pernah merasa begitu dingin seperti sekarang.
Prosesi mandi berjalan lebih cepat dari biasanya, respon tubuh Amanda sungguh tidak bagus. Jangan sampai sakit disaat penting begini. Ia terus memberi alarm agar tubuhnya bisa bertahan.
***
Amanda sedang menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia berdecak kesal ketika melihat kantung matanya yang menghitam. Padahal semalam dia sudah mengompres kedua matanya sampai tertidur. Dibubuhkan lagi eye shadow berwarna terang pada kelopak matanya. Berharap bisa menyamarkan mata pandanya. Ketukan di pintu dibarengi suara Kakaknya mulai terdengar pertanda waktu keberangkatan mereka semakin dekat.“Belum siap?!” Suara teriakan Kakaknya dari balik pintu.
“Sebentar, Kak.” Berlari kecil meraih daun pintu. “Masih ada waktu, tidak? Aku belum menemukan kerudung yang cocok.” Alasan. Ada lusinan kerudung di dalam lemarinya. Warna dan jenis yang berbeda, memang mau mencari yang bagaimana lagi? “Tidak ada, yah? Kalau begitu, lima menit lagi.” Amanda menggigit bibir bawahnya. Wajah cantiknya dibingkai kesedihan yang dalam.
Lenguhan panjang terdengar di sela tarikan napas Kinara. Kakak perempuannya. Satu-satunya anggota keluarga yang Amanda punya setelah Ayah dan Ibunya tiada. “Kantung matamu terlihat jelas, Manda,” ucap Kinara.
“Aku harus bagaimana? Padahal sudah kukompres semalaman.” Amanda hanya bisa menunduk pasrah. Kesepuluh jemarinya saling meremat.
“Dengar.” Tepukan lembut diberikan di punggungnya. “Jika ini terlalu sulit bagimu. Kamu tidak perlu datang. Nanti Kakak bilang kamu sedang ada keperluan mendesak.”
Amanda berusaha sekuat tenaga untuk tetap terlihat tenang. Setidaknya dia harus bisa mengatakan ‘aku baik-baik saja’ pada dirinya sendiri sebagai penghibur. Ia berusaha mengulum senyum meskipun tipis lalu menggeleng sesudahnya. Mengusak anak rambutnya ke pangkal telinga, senyumnya semakin merekah sampai mata sipitnya hilang total. Hanya memperlihatkan kedua bulu mata yang sudah dibubuhi maskara. “Aku tetap harus datang, Kak. Setidaknya sampai mengucapkan selamat kepada mereka berdua,” lirihnya.
“Kamu yakin?” tanya Kinara memastikan. Dia sedang sibuk menggendong Ibra, putranya yang sudah berusia lima tahun. Sudah semakin besar dan berat untuk digendong.
“Mau bagaimana lagi, Kak. Mungkin memang harus begini jalannya.”
“Yang sabar, Manda.” Sekali lagi Kinara mengelus lembut lengan adiknya sekadar memberi afeksi. “Jodoh memang tidak bisa kita atur. Kapan akan bertemu dan dengan siapa kita akan menghabiskan masa muda.”
Amanda balas mengelus punggung tangan Kakaknya. Menatap wajah Kinara yang tidak sedap dipandang. “Tolong, jangan perlihatkan wajah menyedihkanmu di depanku. Aku takut riasan wajahku rusak karena menangis.” Jemari lentiknya dia alihkan untuk membelai pipi Ibra, keponakannya yang terlampau lucu. “Semua yang terjadi padaku, sekecil apa pun adalah takdir Allah. Termasuk perkara jodoh. Aku harus siap. Jodoh memang punya rahasianya sendiri.”
Kinara melenguh panjang. Bibirnya terbuka lagi, bersiap berucap sampai tangan mungil Ibra menarik kerudungnya. Bocah itu kemudian membuka mulutnya mengeluarkan suara tangisan. Terpaksa membuat Kinara bangun dari duduknya. “Unda, uu, (Bunda, susu),” rengek Ibra tak henti menarik kerudung Bundanya.
“Eh, solehnya Bunda. Kalau mau bunda buatkan susu, jangan tarik kerudung Bunda.” Melirik Amanda. “Kakak tinggal dulu, yah. Kayaknya Ibra haus. Nanti kalau sudah selesai, kamu langsung ke ruang keluarga. Pak Budi sudah nunggu. Kita berangkat bareng Pak Budi, soalnya Mas Dika sudah di lokasi.”
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Jodoh
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA. Mencintai seseorang dalam diam selama lima tahun bukanlah hal yang mudah. Tidak sesederhana membalik halaman Novel. Amanda bisa melewatinya ketika banyak lelaki mencoba mendekat. Berusaha menjaga janji seorang Kenendra Syah...