Mulasnya semakin menjadi. Datang lebih sering, dan Serly tak lagi kuat menahan. Menatap jam di dinding kamar kosnya, ia larikan pandang ke jendela yang terlihat langit malam di luar sana. Gulita.
Meski bukan kota besar, Nganjuk juga punya kehidupan malam yang meriah. Kata orang. Tapi di kos yang mirip rumah kontrakan dan tinggal sendirian, tetap saja ia merasa sepi.
Mengambil ponsel, ia tekan nomer Revi. Teman kerjanya di toko baju dan tinggal di tiga rumah dari tempatnya tinggal sekarang. Berharap Revi datang menemaninya ke bidan. Ia harus ke bidan sekarang. Tak bisa lagi menahan. Jika melahirkan di kos, ia tak bisa mengatasinya sendiri.
Mencoba berdiri dengan berpegangan pada tembok, Serly coba jalan. Pelan, hingga ia bisa membuka pintu depan. Berjalan lagi, karena ia tak mungkin naik motor ke bidan dalam kondisi seperti ini.
Merintih sakit, sambil memegangi perut. Serly nekat berjalan sendiri menuju bidan dekat rumah tinggalnya. Sudah pukul sebelas malam. Tempat tinggalnya di desa pula. Sudah pasti rumah-rumah tutup dan keadaan sepi.
Namun, ia tak sanggup lagi. Di depan sebuah toko entah ia tak bisa membaca jelas, Serly istirahat. Ia sudah keluar dari gang masuk rumah kosnya. Tinggal beberapa toko lagi ia sampai di tempat bidan. Ia harus kuat.
Tapi ... ia rupanya tak sanggup. Perutnya mulas. Hingga teriakan minta tolong membuatnya harus ia ucapkan lantang.
"Tolong!"
Serly terus minta tolong sembari memegangi perut. Suara teriakannya semakin menjadi bercampur lelehan air mata yang semakin deras.
"Tolong saya...."
Seseorang mendekat. Langsung menepuk pundak Serly. "Mbak, Mbak, kenapa? Sakit perut? Mules? Apa laper?"
Serly ingin marah. Sudah jelas perutnya sedang besar begini kok masih tanya lapar segala. Siapa sih orang ini? Serly tak begitu jelas dan tak kenal. Tapi, setidaknya ia bisa minta tolong pada laki-laki di dekatnya ini.
"Mas, tolong antar saya ke bidan. Saya mau melahirkan?"
"Apa? Waduh. Sini, sini, saya bantu."
Dalam gendongan laki-laki asing tapi panikan, Serly bisa sampai juga di rumah seorang bidan. Diketuknya pintu beberapa kali, hingga terbuka.
Serly dibaringkan di atas kasur. Segala peralatan disiapkan. Laki-laki yang membawa Serly tadi ikut masuk dan memegangi tangan. Bahkan sambil mengejan dan bayinya lahir.
"Alhamdulillah ... bayinya sudah lahir, Bu, Pak. Selamat ya. Bayinya sehat dan cakep banget." Bidan yang membantu persalinan memeperlihatkan bayi Serly yang menangus kencang usai dipotong tali pusarnya.
Serly melirik sekejap, lalu merelakan berpisah karena bayinya hendak dibersihkan. Serly menangis haru. Ia tak menyangka sekarang ia seorang ibu.
"Itu cowok, Bu?" tanya laki-laki yang mengusap ingus serta air matanya haru.
Serly melirik sebelah. Astaga. Ia lupa, sudah membawa pejantan saat proses melahirkan. Tapi, kenapa laki-laki itu ikut menangis sih?
"Iya dong, Pak. Burungnya sudah kelihatan, ya pasti cowok lah. Bapak ini gimana sih. Kayak bukan cowok juga." Candaan bidan membuat laki-laki yang bertanya tadi makin meraung menangis.
"Emak, maafin aku. Ternyata ngelahirin aku itu berat."
Bidan geleng-geleng kepala, sementara Serly hanya terpaku di tempat.
"Makanya, Bapak harus sayang sama istrinya. Udah ngelahirin anak, bertaruh nyawa, sakit sekujur badan. Ayo, Bapak segera di-azan-in anaknya."
"Loh, kok saya." Laki-laki tinggi berkalung tas selempang itu melongo bingung.
"Bapaknya siapa? Saya?" balik Bidan tersebut.
"Saya nggak ikut buatnya loh, kok jadi bapaknya?"
Si bidan memandang pasangan suami istri di hadapannya dengan bingung.
___________
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Bapak (Selesai)
HumorBagi Leo, menikah adalah harapan yang ia gadang sejak burungnya digunting oleh mantri sunat. Menginjak dewasa, ia tinggal menemukan partner hidup samawa. Sayang, ia kepalang sial. Membantu orang lahiran saat pulang kerja dan malah diakui jadi suami...