Serly menekan tombol cook dan lampu merah menyala. Tinggal menggoreng lauk saja, maka ia bisa langsung sarapan."Tuh kan, masih belum mateng. Udah, makan dulu aja."
Sayangnya, Leo datang pagi-pagi sekali sambil membawakan sebungkus nasi pecel. Sambil masih membersihkan belek, ia duduk di atas tikar yang digelar di depan televisi.
"Kalau aku sarapan sekarang, nasiku nggak ada yang makan." Serly membela diri. Padahal ia masak cuma untuk diri sendiri.
"Nanti aku bantu habisinnya. Udah, buruan dimakan. Sambelnya nggak enak nanti kalau dimakan lama-lama. Mumpung Agam masih tidur."
Serly menggeleng. Selalu saja begitu. Pagi untuk ke sekian kalinya Leo datang membawakannya sarapan. Padahal ia juga bisa memasak makanan untuk dirinya sendiri. Saat Agam tidur, Serly benar-benar memanfaatkan waktu untuk beberes, masak, makan, dan tidur sekejap sampai Agam terbangun. Emak single yang strong. Tak mau jadi emak lemah di mata dunia. Tampil kuat meski hati remuk redam adalah keahlian Sherly.
Ia sudah mengajukan cuti, dibantu Revi. Pun acara syukuran kecil-kecilan yang ia pesankan nasi kotak dan dibagikan ke tetangga sekitar. Belum bisa aqiqah, karena ia terbentur dana. Nanti saja kalau keuangannya sudah kembali normal. Setelah ia kembali bekerja.
"Ser, Agam nggak disuntik?" tanya Leo penasaran.
Serly yang sedang makan nasi pecel menoleh. "Imunisasi?"
"Iya. Kapan itu." Leo lupa-lupa ingat istilahnya apa. Pokoknya disuntik bidan tiap bulan.
"Belum. Kenapa emang?" Serly belum tahu di mana dan kapan ia bisa melakukan imunisasi.
"Yah, aku anterin." Leo menawarkan diri. Tak mau melewatkan momen tumbuh kembang Agam.
Serly menoleh lagi. "Kamu ini nggak ada kesibukan lain ya, Le? Kenapa sering banget dateng ke sini nengokin Agam."
Bukannya apa, Sherly takut Leo punya kerjaan yang malah ganggu dia. Atau punya keluarga yang nyariin dia. Kan makin merasa bersalah saja Sherly kalau begini.
"Biar aku nggak nyumbang sperma buat Agam, tapi dia udah aku anggap anak sendiri. Pengen aku rawat dan besarkan layaknya Malika. Gitu loh, Ser. Boleh ya?"
Serly langsung tersedak sambel pecel yang tak seberapa banyaknya karena Leo membelikannya dengan sedikit sambal. Pernah kala itu Leo membelikannya, tapi malah Agam mencret karena pedas. Memang, apa yang ibunya makan, juga berimbas ke anaknya. Makanya Serly hati-hati. Ia masih baru, untuk jadi orang tua.
Tidak ada yang mengawasi dan membantunya. Apalagi menasehati. Orang tuanya? Ah ... mana peduli mereka. Sejak ia berniat pindah rumah, mereka sudah tak menganggapnya anak lagi. Mana pernah sih, ia diperlakukan anak?
"Le, aku makasih banyak kamu udah nolongin aku pas lahiran. Tapi kayaknya udah cukup deh. Kamu pasti punya kesibukan lain. Kami ini juga bukan keluarga kamu loh."
Tahu nggak sih, Serly tak enak saja. Tetangga pada menggunjing karena Leo sering datang. Dikira Leo adalah suaminya. Baru kelihatan karena sudah lahiran. Mengira Leo ini kerja di luar kota dan tak pernah pulang. Masalahnya, Leo kan bukan bapaknya Agam. Belum lagi ia juga menjaga perasaan keluarga juga pacar Leo mungkin. Dikira ia kegatelan lagi. Repot jadi perempuan janda begini banyak yang ngomongin. Kalau duda kok malah banyak yang naksir. Heran deh sama hukum pergosipan di negara ples enam dua ini.
Leo manyun. "Yah, jadi bapak sementara Agam deh. Yah, yah? Papa Leo gitu panggilanku biar keren."
Serly melotot, tandanya Leo harus bungkam dengan ide anehnya tersebut.
***
"Semen yang lima kiloan dua, sama closet jongkok warna marun."
Leo mencatat total belanjaan salah seorang pembeli setelah pegawainya berteriak dari depan etalase. Mendikte pesanan. Lekas, Leo menuliskan angka. Memberikan nota pada pegawai yang lain untuk diberikan pada pembeli. Setelah uang diterima Leo, ia sigap mengambil kembalian.
Selesai dengan satu pelanggan, datang lagi pelanggan baru yang membeli enam kaleng cat warna putih. Begitu terus pekerjaannya. Karena ia sendiri pemiliknya, Leo bertindak sebagai kasir. Sudah ada pegawai yang jumlahjya enam orang untuk mengurusi. Empat di toko, dan dua di gudang samping rumah. Karena barang-barang tak akan muat jika semua ditaruh di toko. Belum lagi rumah tempat orang tuanya tinggal ini nempel dengan bagian belakang toko.
Menjelang sore, Leo keluar dengan motornya. Toko satu jam lagi tutup. Ia hendak membeli gorengan untuk pegawainya, sekaligus caper lewat rumah Serly. Siapa tahu ia dilambai suruh mampir. Jadi bisa ada alasan untuk nongkrong-nongkrong cakep. Bosen sih, nongkrongnya Leo cuma ke angkringan sambil minum susu jahe dan aneka sate. Sambil main game Hago.
"Balik lagi ah, siapa tahu Agam lagi digendong emaknya di teras."
Leo memutar motor. Lewat rumah Serly lagi. Sayang, yang ia harapkan tak terjadi. Pintu rumah Serly tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda Agam menangis atau emaknya berceloteh.
"Mampir, ntar Serly ngamuk lagi. Nggak mampir, kangen pengen gigit pipi Agam." Leo galau.
Demi kesejahteraan bersama dan ketidakpastiaan yang menyesakkan, Leo pun membelokkan ke halaman rumah Serly. Turun dari motor, ia ketuk. Satu ketukan, dua ketukan, sampai sepuluh ketukan.
Tak ada tanda-tanda segera dibuka. Lep panik. Ia intip dengan mendekatkan mata serta menutup pandangan bagian samping dengan telapak tangan. Berharap bisa menembus ke dalam.
"Mereka ke mana ya. Apa jalan-jalan? Agam kan udah sebulan deh. Udah boleh diajak nongkrong masa?"
Merasa tak mendapat kehadiran Serly serta tanda-tanda Agam menangis juga, Leo putuskan hengkang dari rumah Serly. Berjanji dalam sanubari, ia akan datang lagi nanti malam. Ia khawatir kalau sehari saja tak melihat wajah Agam. Ia juga pengen punya, tapi adanya cuma bayi kucing di rumah yang dipelihara ibunya. Mana bayi kucingnya nggak ramah lagi sama dia. Pengen Leo buang saja rasanya. Manjanya kelewatan.
Kembali ke toko, Leo letakkan sekresek gorengan di meja. "Ambil nih."
Pegawai Leo berbondong-bondong datang mengambil. Leo sendiri, termenung di meja kasir. Mereka-reka ke mana gerangan Serly dan Agam sore-sore begini.
Apa bapaknya Agam datang dan ngajak mereka pulang?
Serly kembali kerja sambil bawa Agam?
Serly jalan-jalan ngajak Agam.
Agam minta nonton jaranan.
Berbagai spekulasi Leo tuliskan di kertas nota. Sungguh ia gelisah. Serasa anaknya tak segera pulang dari sekolah. Padahal proposal minta jadi bapak sementara buat Agam saja belum di-ACC sama Serly.
Apa begini ya rasanya nanti jika Leo punya anak beneran. Bukan anak orang, tapi hasil jerih payahnya menyumbang benih. Pasti ia bakal jadi bapak yang posesif. Maunya ikutin anak ke mana-mana.
Tapi, kapan ia bisa jadi bapak hasil benihnya sendiri?
_________
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Bapak (Selesai)
MizahBagi Leo, menikah adalah harapan yang ia gadang sejak burungnya digunting oleh mantri sunat. Menginjak dewasa, ia tinggal menemukan partner hidup samawa. Sayang, ia kepalang sial. Membantu orang lahiran saat pulang kerja dan malah diakui jadi suami...