08. Just Meet

570 180 49
                                    

Aku sangat lesu hari itu, sekedar beranjak dari kasur saja aku tidak berselera sama sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sangat lesu hari itu, sekedar beranjak dari kasur saja aku tidak berselera sama sekali. Rasanya sangat malas untuk melakukan apa-apa. Padahal aku sempat mendengar Soobin dan Kai mampir jelang siang ini, barangkali mau mengajakku keluar dan jalan-jalan lagi. Tapi, sungguh. Aku sedang tak minat.

"Soya." Papa berseru, mengetuk pintu kamarku cukup bertenaga. "Mau sampai kapan kau di dalam? Buka pintunya! Kau harus makan siang, Nak!"

Huh! Aku tidak peduli! Ini 'kan tubuhku! Aku mendemel dalam hati. Malas sekali rasanya untuk sekadar mendengar ucapan orang lain. Kendati itu Papaku sendiri.

"Papa sudah mengusahakannya. Kau boleh melihat Kang Taehyun lagi," ujar Papa tiba-tiba. Entahlah apa itu pancingan agar aku mau mendengarkan, tetapi itu memang berhasil. Aku langsung duduk dan menajamkan pendengaran. "Tapi tidak semudah itu, Pak Kang punya alasan sangat besar dan Papa kebingungan harus bagaimana lagi. Untuk bisa melakukannya, Papa juga perlu minta persetujuan darimu, Soya."

Hah? Persetujuan? Apa maksudnya?

Aku turun dari ranjangku, melangkah menuju pintu guna mendengar lebih jelas.

"Anak itu ... punya alasan untuk hidup sendirian di balik kebun tanpa teman-teman. Terjadi sesuatu, Papa tak bisa ceritakan padamu sekarang. Bahkan Pak Kang sendiri mau bersuara setelah Papa desak." Papa tetap melanjutkan, seolah menyadari bahwa aku di dalam sudah menanti untuk mendengar lanjutannya. "Tapi sebelum itu, Papa mau kau makan siang dulu. Okay? Lalu, kita akan cari cara. Kita bicarakan semua baik-baik. Bagaimana? Kau mau, kan?"

Aku tak langsung menjawab. Membuat papa lanjut mengedor pintu kamarku. "Nak? Soya? Kau dengar Papa?"

Aku masih tercenung di tempat. Merenungi ucapan papa, dan mencoba memahami maksudnya.

"Anak itu juga punya alasan hidup sendirian."

"Papa juga perlu minta persetujuan darimu, Soya."

Aku tidak mengerti.

"Soya?! Kau tidak dengar? Papa akan mencobrak pintu ini, ya!" Papa berucap panik, aku pun jadi lebih cemas lagi.

"Soya dengar!" sahutku buru-buru. "Papa tidak perlu mendobrak pintu!" seruku, mulai membuka kunci pintu kamar.

Terlihat Papa yang menghela napas lega. "Ahh, untunglah kau mau keluar, Nak." Papa langsung memelukku. Membuatku sangat merasa bersalah. Marahku tentu membuat Papa tersiksa dan bebannya bertambah.

"Maaf, Pa," cicitku pelan, balas merengkuhnya.

"Hm. Papa juga minta maaf," kata Papaku, sudah memancing tangisku tumpah lagi. "Kau itu anak Papa satu-satunya. Papa takut sekali melukai perasaanmu, walaupun demi kebaikanmu."

"Papa ... tidak perlu minta maaf." Aku menerima usapan di kepalaku. "Mungkin Papa benar. Soya harus ... menyerah saja dengannya." Aku berujar pelan, dengan sangat berat hati. Rasanya seperti diperhadapkan dengan pilihan; Papa atau Kang Taehyun. Yang sepatutnya aku hindari.

Ah, ini sulit!

🌸🌸🌸

Makan malam hari itu jadi berlangsung canggung. Aku sendiri jadi kesulitan mengekspresikan diriku sendiri. Aku masih sulit merelakan Kang Taehyun lepas dariku begitu saja, namun belum berani untuk mendesak papa menjelaskan banyak perihal maksud omongannya yang tadi siang. Ah, membingungkan sekali.

"Pa."

"Hm?"

"Papa menemui Kang Taehyun hari ini?"

"Hm. Cuma sebentar." Papa mengangguk, tetap melanjutkan makan dengan kunyahan santai. "Anak itu juga tidak keluar untuk melukis di balik kebun seperti biasa, hari ini."

"Kenapa?" tanyaku spontan. Kini aku sudah tak berselera melanjutkan makan. Fokusku sudah teralihkan sepenuhnya.

Aku menunggunya. Papa yang menyelesaikan kunyahan terakhirnya, meneguk minum sebagai sentuhan terkahir pelengkap makan malamnya. Kemudian barulah menatapku lurus. Terlihat serius. "Mau menemuinya saja sekarang?"

Aku langsung melotot. "S-sekarang?!"

Papa mengangguk yakin. Membuatku tambah menutup mulut tak percaya. Papaku ini sudah bagaikan manusia terplot-twist abad ini saja. Tak pernah terduga dalam pikiranku perihal semua rencana dan tindakannya itu. Seolah berbanding terbalik dengan semua sinyal yang dia kirimkan melalui semua perkataannya sebelum ini. "Tapi, dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

"Kau yakin mau menerima syaratnya?"

Agak ragu, aku tetap mengangguk kuat.

Papa malah hanya tegak, mengulurkan tangannya. "Nanti saja Papa beritahu, sekarang kita coba dulu, apakah memang bisa kau bertemu dengannya malam ini."

[✓] But, I Still Want YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang