Dalu. Begitulah kami semua memanggilnya. Tak ada yang tahu namanya sesungguhnya. Dan mungkin juga tak ada yang ingin tahu. Toh ia hanyalah lelaki tua acak-acakan yang tinggal di sebuah gubuk renta tak jauh dari bangunan SD Negeri yang hampir sama lapuknya. Aku tak tahu semenjak kapan ia tinggal di sana. Seingatku, gubuk itu belum ada saat aku berangkat mengadu nasib ke Jakarta delapan tahun silam. Namun, ketika aku kembali enam bulan yang lalu, dengan memboyong istri dan putra-putriku, gubuk itu telah tegak walau hanya dipotong kayu bekas dan ditutupi spanduk sisa kampanye yang warna putihnya bahkan telah menghitam ditimpa terik.
Tapi, tunggu dulu! Kurasa aku terlalu berlebihan bila berkata kami biasa memanggilnya Dalu. Kami sama sekali tak pernah memanggilnya. Kami bahkan tak pernah memandang saat berpapasan dengannya. Kami akan berpura-pura tidak melihat saat ia dengan ramah menyapa kami saat hendak menunaikan shalat berjamaah. Mungkin akan lebih tepat bila kukatakan bahwa kami biasa menyebutnya Dalu, saat dengan congkaknya kami menggunjingkan sang penghuni gubuk kumuh itu.
Aneh memang bila mengingat betapa kami tak pernah lupa menyebut namanya saat menggunjingkan berbagai hal buruk yang terjadi, namun selalu melupakannya ketika ada bantuan sosial yang singgah ke kampung kami. Ketika jatah beras miskin dikucurkan pemerintah, dengan halus kami menampiknya.
"Di kampung ini tak ada orang miskin!" begitu kami berkata. Tak ada seorangpun yang teringat pada Dalu.
Ketika berbulan lalu Kepala Kampung diperintahkan mendata calon penerima bantuan tunai saat pandemi, kami tegas menolak untuk mencantumkan satu pun nama penduduk kampung ini.
"Penduduk kampung ini tak perlu bantuan dari pemerintah. Kami bukan pengemis!" demikian lantangnya kami berujar. Lagi-lagi Dalu tak terlintas dalam ingatan kami.
Dalu sedikit pun tak pernah mengeluh. Bahkan ketika ia harus didudukkan di muka hakim karena mengambil tiga buah jagung dari kebun Pak Rivai yang berhektar luasnya. Ia hanya diam dan tersenyum di muka hakim yang menangis sesenggukan mendengar kisahnya. Tak ada pilu yang tersirat di wajahnya.
Kami semua menuduhnya pencuri. Dengan lantang kami menghakimi dan hendak mengusirnya pergi dari kampung. Namun, entah kenapa hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Kami pun berlarian lintang-pukang mencari tempat berteduh.
Sejauh mata memandang, kami melihat Dalu berlari dan menari-menari di tengah deras hujan. Dengan riang ia menengadahkan kedua tangannya ke atas. Dibiarkannya wajahnya yang kusam ditusuk ribuan rinai hujan yang menggigilkan kami semua.
"Dalu sudah gila," begitu pikir kami seraya melontarkan raut risi kepada sesama. Lantas kami pun berlalu. Tak ada gunanya berurusan dengan orang tidak waras, lebih baik menaksir secangkir teh hangat dengan balutan selimut sutra di bawah atap rumah masing-masing.
Seminggu kemudian kami mendengar Dalu terserang penyakit aneh. Dengan menggerutu dan berupaya menjaga jarak, kami membawanya berobat ke Puskesmas terdekat. Bukan karena kami peduli padanya, kami hanya takut ia mengidap virus yang bisa menulari seisi kampung.
Ternyata sakit Dalu benar-benar parah. Ia pun dirujuk ke sebuah rumah sakit mewah. Ada seorang dermawan yang jatuh iba padanya. Hati kami terasa begitu sesak mendengarnya. Bukan disesaki harapan Dalu akan segera sembuh, tapi disesaki rasa lega karena kami tak harus pusing lagi memikirkan biaya berobat lelaki menjijikkan yang tak pernah kami anggap ada.
Berbulan Dalu belum kembali ke gubuknya. Dari kabar yang kami baca di Koran dan ramai disiarkan di televisi, Dalu mendapat ganti rugi dari rumah sakit tempatnya pernah dirawat. Ia telah salah didiagnosis dan diisolasi paksa. Kami sendiri kurang paham bagaimana, tapi ia kembali menjelang Idul Adha dengan membawa tiga keping uang logam. Bukan berkarung-karung uang logam seperti yang kami bayangkan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka Ingin Seperti Dalu
Short Story"Aku ingin seperti Dalu!" begitu kata Tulus, pagi itu. Tiba-tiba aku tersadar. Dalu takkan pernah pergi dari kampung kami. [CERITA PENDEK]