1

20 2 0
                                    


"Pergi kau! Dasar anak tidak tahu berterima kasih. Ayah sudah membesarkanmu selama ini namun apa yang telah kau lakukan?! Kau malah mempermalukan Ayah dihadapan orang banyak!" Hardik seorang pria paruh baya kepada anak kandungnya sendiri. Dibelakangnya sudah berdiri wanita paruh baya bersama anaknya yang melipat kedua tangannya diatas dada sambil menampilkan smirknya kepada gadis malang yang baru saja di usir.

"Tapi Ayah...aku tidak melakukan itu. Aku tidak mencuri apapun darinya. Mereka telah memfitnah diriku agar bisa menguasai semua harta Ayah. Aku sungguh tidak bersalah Ayah hiks hiks hiks...." Tangis gadis itu memohon sambil memeluk kaki Ayahnya yang bahkan tidak mau melihat kebenaran di wajah putrinya itu.

Wanita paruh baya itu mendekati suaminya dan lagi-lagi memberikan hasutan agar suaminya tidak percaya pada apa yang dikatakan putrinya itu.

"Hiks hiks hiks yeobo.... Kau dengar sendiri kan? Dia memfitnah ku, padahal selama ini aku menyayanginya sebagaimana aku menyayangi putri kandungku sendiri tapi apa yang dikatakannya padaku hiks hiks hiks..." Wanita itu berpura-pura menangis untuk mendukung aktingnya dan agar suami bodohnya itu lebih percaya padanya dibandingkan putri kandungnya sendiri.

Gadis itu menggelengkan kepalanya mendengar kebohongan wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu tirinya itu.

"Tidak Ayah, itu tidak benar. Ako mohon percayalah kepadaku hiks hiks..."

"Ayah.... Biarkan aku dan ibuku yang pergi. Mungkin kehadiran Kamilah yang menjadi alasan Seuljin melakukan ini. Jujur, aku tidak tahan lagi selalu disiksa olehnya baik secara fisik mau pun mental. Karena aku hanya  putri tirimu dan dia terus saja menghinaku seperti itu hiks hiks hiks..." Ucapan palsu dari saudari tirinya makin menambah kebencian sang ayah kepada Seuljin.

Kini gadis itu hanya bisa menangis di kaki sang ayah berharap ada sedikit belas kasihnya. Namun tidak, Ayahnya sendiri sudah naik pitam sampai ke ubun-ubun karena termakan hasutan keduanya. Seuljin diseret secara paksa dan dorong keluar dari pintu utama rumah yang telah di diaminya selama ini.

"Pergi kau! Ayah tidak mau melihatmu lagi, mulai sekarang kau bukanlah putriku!" Ucapan tersebut bagaikan ribuan pedang menusuk hati Seuljin. Kini dia benar-benar hidup sebatang kara di dunia ini. Usianya yang masih belia dan baru saja lulus SMA masih terlalu berbahaya untuk berkeliaran di kota Busan seorang diri.

"Aku harus kemana sekarang? Hiks hiks hiks.... Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini hiks hiks hiks..." Seuljin berjalan dengan putus asa mengikuti kemana langkah kakinya membawanya. Ia tidak tahu harus kemana. Hari mulai petang dan Seuljin mulai kelelahan menenteng tas besar miliknya.

"Ahhh....kakiku sakit. Hiks hiks hiks...." Air matanya masih saja mengalir dan belum kering padahal sejak tadi ia tidak berhenti menangis. Seuljin duduk di halte busway sambil memijit betisnya yang sakit secara bergantian.

"Hah....sudah malam namun aku belum memiliki tempat tinggal. Uangku tidak banyak dan jika aku menyewa rumah pasti akan habis hanya dalam sekejap. Aku juga belum mempunyai pekerjaan dan bagaimana aku akan hidup beberapa hari kedepannya?" Seuljin begitu pusing memikirkan jalan keluar dari masalahnya kali ini. Ia hanya membawa uang hasil tabungannya yang tidak banyak.

KRRRUKKKK....

Perutnya berbunyi menandakan kalau perlu diisi. Seuljin melihat sebuah restoran sederhana yang berada dekat halte itu dan memesan menu makanan termurah. Teobokki dan juga kimbab menjadi makanan yang dipesannya untuk memuaskan rasa laparnya.

"Aku sudah kenyang dan sekarang aku harus mencari kamar kos yang murah karena mulai sekarang aku harus menghemat pengeluaranku." Seuljin melihat selembar penyewaan kos di daerah tersebut yang baru saja terbuka dengan DP yang begitu murah. Buru-buru Seuljin menuju alamat yang tertera dalam brosur tersebut dan merasa lega ketika tempatnya tampak layak untuk dihuni dengan harga yang semurah itu.

Missing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang