01. Nestapa Pembuka

8.7K 663 82
                                    

Semburat kemerahan mengisi langit senja. Sang surya beranjak perlahan kembali ke peraduan. Sedikit demi sedikit, hingga menyisakan awan kelabu bersama bintang yang mulai berdatangan. Selaras dengan itu, sudah sejam lebih Lion menunggu sang kembaran untuk bertolak pulang. Namun, batang hidung Leo tidak kunjung terlihat juga. Kalau saja ia bisa mengendarai mobil sendiri, ia tidak akan sudi menunggu lama.

Hela napas kencang terlontar dari Lion. Terlampau bosan terjebak dalam hening. Berulang kali kepala pemuda itu menoleh ke luar, mengecek apakah eksistensi Leo sudah bisa terdeteksi atau belum. Sayang sekali sampai suara speaker di Masjid menggema, menyuarakan ayat-ayat suci Al-quran, Leo masih belum juga muncul.

Lion geram. Ia segera mengetikkan beberapa digit nomor di ponselnya. Hendak menelepon Leo dan memerintahkan pemuda tersebut untuk segera pulang. Sungguh, ia sudah lelah duduk di sana.

"Di mana? Cepetan balik!" semprot Lion sesaat setelah teleponnya diangkat.

Dengkusan kecil terdengar dari seberang. "Sabar. Bisa sabar nggak, sih? Makanya tadi dibilangin suruh pulang sama Farrel, tapi lo malah gak mau. Salah siapa coba kalau gini?"

"Oh, lo nyalahin gue? Setelah gue udah nunggu lama malah lo salahin?"

"Ck. Iya, maaf."

"Cepetan!"

Suara beberapa orang yang menyerukan namanya menahan Leo untuk segera memberi respon pada sang adik. Ia menjauhkan ponselnya sejenak. Menyahuti mereka yang berseru tidak sabar. Lalu kembali ke ponsel. "Nggak bisa cepet, Yon. Ini masih pada ribet. Daritadi nggak nemu titik terang. Gue juga pengennya cepet balik, tapi nggak bisa. Minimal abis Magrib baru kelar ini."

"Yaudah."

Sambungan telepon diputuskan sepihak oleh Lion. Sontak mengundang gelengan heran dari sang kakak. Sudah pasti Lion ngambek. Namun, mau bagaimana lagi? Urusan membujuk Lion itu gampang. Kadang tanpa dibujuk juga pemuda tersebut akan kembali seperti sedia kala.

***

Kurang lebih setengah jam sudah berlalu. Hari berganti malam. Leo buru-buru ke parkiran, tetapi gerakan Leo yang tergesa perlahan melambat ketika mendapati Lion sudah terlelap. Bersandar di jok yang dibuat sedikit condong ke belakang. Kontan senyum tipis di wajah Leo terbit. Ia bergerak dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Selama beberapa menit, Leo terdiam. Mengamati betapa damainya wajah sang adik. Meski Lion itu menyebalkan, tetapi Leo menyimpan afeksi berlimpah unuk pemuda tersebut. Tidak lama kemudian Leo menepuk pelan pundak Lion. Beberapa kali sampai Lion memberikan respon.

"Bangun dulu. Kita mau pulang," ujar Leo. Sengaja membangunkan Lion sebelum mereka bertolak pulang agar sang adik tidak kaget. "Nanti di jalan lanjut tidur lagi nggak pa-pa," sambungnya.

Lion mengucek matanya. Lantas mengembalikan nyawa yang masih melayang. "Lama banget, hish!" keluh bocah itu kemudian.

"Ya, maaf."

"Kepala gue pusing."

Tangan Leo kontan terulur menyentuh kening Lion. Merasakan suhu tubuh pemuda itu. "Nggak demam, kok. Efek baru bangun aja kayanya. Lagian Magrib-Magrib malah tidur. Pasti nggak salat dulu, kan, tadi?"

"Nggak." Lion memberi jeda, lalu melanjutkan, "Takut ke Masjid. Nanti ada pocong."

"Gak usah ketawa!"

Yang lebih muda langsung memekik kencang ketika disambut tawa. Wajah Lion berubah merah. Bercampur antara emosi dan malu. Apa lagi tawa Leo terdengar begitu bebas. Senang sekali menertawakan kesusahan yang Lion hadapi. Padahal, Lion tidak bercanda. Ia pernah mengalami kejadian tidak mengenakan terkait Masjid dan pocong. Sejak saat itulah ia tidak berani ke Masjid seorang diri. Harus ditemani Leo atau kalau tidak ia memilih salat sendiri di rumah.

Seans ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang