03. Rengkuh Hangat

3.8K 514 69
                                    

Cukup lama Leo berdiri di depan ruang kerja Zidan tanpa beranjak sedikit pun. Pikirannya melayang ke mana-mana. Memikirkan kembali perkataan sang adik yang barusan ia dengar. Semua yang terucap dari lisan Lion adalah benar. Tidak ada kekeliruan sama sekali di sana. Mata Leo memejam sejenak. Berbagai perasaan menyusup ke dalam dadanya, menyatu menghadirkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan rangkaian aksara belaka.

Sesosok pria di dalam mulai menunjukkan pergerakan. Leo tidak mau membuang kesempatan lagi. Ia mencekal lengan sang ayah. Memberanikan diri untuk menahan Zidan di sana. Pemuda itu memiliki banyak hal untuk diungkapkan.

"Aku denger semuanya," ujar Leo sebagai pembuka. Zidan kemudian menoleh, memulai kontak mata di antara mereka. "Yang Adek bilang, semuanya itu bener. Aku nggak mau nyalahin Ayah, tapi memang begitu adanya. Jujur, selama ini aku merasa kurang perhatian dari Ayah. Padahal menurut Lion, Ayah paling perhatian sama aku. Kalau aku aja masih ngerasa kurang, apa lagi Lion? Ayah memang memperlakukan kita beda. Aku sadar itu. Tapi aku pikir itu hal biasa. Sampai aku denger Adek bilang kayak tadi."

"Aku nggak mau, Yah, bikin Adek ngerasa kayak gitu. Kita berdua sama-sama anak Ayah. Aku sama Adek lahir dari rahim yang sama. Nggak ada alasan buat membedakan kita berdua. Nggak peduli aku lebih pinter atau lebih apa pun itu, kami tetap anak Ayah. Apa alasan itu aja nggak cukup? Kenapa Ayah tega bikin Adek ngerasa dibedakan?"

Tangan Leo dihempaskan kasar oleh Zidan. Pria itu ganti melempar tatapan tajam. Emosinya kembali membuncah. Dalam sepasang netra itu terangkum amarah yang tertahan. Bara yang belum padam sepenuhnya, kembali disulut hingga menimbulkan kobaran api emosi.

"Ayah nggak mau berantem sama kamu," balas Zidan singkat. Menekan emosi sebisa mungkin untuk anak kesayangannya. 

Leo belum menyerah. Ia tidak akan puas sampai Zidan menyadari letak kesalahan yang telah ia perbuat. Pemuda itu segera bergeser, menghalangi jalan Zidan. "Aku belum selesai."

"Apa lagi? Jangan bikin Ayah marah. Cukup Lion aja yang jadi anak kurang ajar, kamu jangan." Zidan mengeluarkan peringatan keras.

"Bukannya aku mau jadi anak kurang ajar, Yah. Tapi aku nggak mau Adek terus-terusan Ayah perlakukan kayak gitu. Selain anak Ayah, Lion itu juga Adik aku. Jangan karena Ayah itu orang tua Lion, jadi bisa semena-mena. Aku Kakaknya. Aku nggak akan diam aja."

"Leo!" sentak Zidan. Namun, tidak berdampak apa pun. Leo malah makin teguh dengan tekadnya.

Rahang tegas Leo mengeras. Menyadari sang ayah sama sekali belum sadar atas apa yang sudah terjadi. "Terus soal pernikahan Ayah, aku yakin Lion punya alasan sendiri. Ayah pasti tau kalau hidup tanpa ibu itu susah. Apa lagi dari kita kecil. Lion dan aku udah sering mendapat perlakuan nggak enak. Sampai kita berdua akhirnya terbiasa. Bahkan disebut anak haram juga udah biasa buat kita."

"Di setiap tindakan yang Lion lakukan, pasti ada alasan. Tolong buka sedikit mata Ayah dan lihat apa yang terjadi sama Adek. Ayah sayang kita berdua, 'kan?" lanjut Leo. Tatapannya melembut. Mencoba menggugah hati nurani Zidan.

Namun, Zidan malah membuang pandang. Menghindari sorot penuh harap dari sang anak. Ia diam untuk beberapa saat. Memikirkan kembali perkataan Leo. Ingatannya terlempar ke tahun-tahun di belakang. Mengingat semua yang telah ia lakukan untuk membesarkan kedua jagoannya.

Memang membesarkan dua anak tanpa bantuan seorang istri adalah pekerjaan yang berat. Zidan bahkan sulit sekali untuk meluangkan waktu bersama mereka. Ia sekarang sadar kalau memberi mereka kemewahan bukanlah segalanya. Membuat mereka bersekolah di sekolah elit bukanlah yang mereka butuhkan. Mereka juga butuh kasih sayang. Selama ini Zidan mungkin sudah salah.

Zidan mundur selangkah. Ia mengusak surai hitamnya kasar. Belasan tahun sudah terlewati, tetapi Zidan masih belum mengerti bagaimana cara menjadi seorang ayah yang baik.

Seans ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang