Bus sekolah yang kami tumpangi terlihat melawan awan culomnimbus yang tebal. Namun, suara Alan, sang ketua kelas, terlihat tak peduli. Ia tetap menggenjreng gitar dan membawakan beberapa lagu lawas, seperti "Dan" Sheila on Seven, "Mungkinkah" Stinky, dan beberapa lagu Padi. Ia memang selalu ingin membuat kami senang, terutama di akhir-akhir kebersamaan kami di kelas XII. Alan adalah ketua kelas favorit kami.
Ia telah memenuhi keinginannya. Semua teman-teman sekelas, terutama primadona kelas, Rasti, ikut berjoged di koridor bus yang sempit. Iringan gitar akustik itu turut mengundang rekan-rekan pria bernyanyi bersama Alan. Entah mengapa, melihat mereka tertawa-tawa di tengah hujan yang deras dan pemandangan awan yang hitam, dadaku malah berdebar.
Dadaku berdebar kencang karena sejak malam aku sudah tak dapat tidur. Entah kenapa aku tak tahu. Instingku sangat kuat tentang bencana. Yang kuingat, saat aku masih tinggal di Jakarta Utara, daerah yang memang dekat dengan laut, sebelum banjir datang dan masuk ke dalam rumah kami yang sudah usang, aku selalu tak dapat tidur dengan nyenyak karena jantungku berdebar keras dan seperti akan copot. Kemudian, benarlah, saat hujan membasahi kampung kami satu hari satu malam, air bah menerjang ke rumah penduduk. Banjir bah itu kurasakan seperti teguran Tuhan yang datang. Aku pun tak heran bila air masuk ke rumah kami. Lihat saja jembatan di depan rumah yang termakan air laut yang tiap tahunnya makin tinggi. Tanah kami memang terkikis oleh air laut. Diprediksi pula bahwa pada tahun dua ribu entah kapan, Jakarta Utara, tempatku tinggal akan tergerus laut dan tenggelam.
"Dira, mengapa melamun? Nyanyi, dong!" sikut Mae, teman sekelasku yang manis dan berpipi chubby.
Aku tersentak. "Ehm..., iya, aku lagi agak mual." Aku sedikit berbohong. Memang benar, aku merasakan debaran dada yang luar biasa. Insting bahwa ada suatu hal yang akan menimpaku berkecamuk keras. Perasaan tak enak ini, kata nenekku, adalah karunia yang harus disyukuri karena tak semua orang bisa merasakan firasat. Namun, bagiku, perasaan ini benar-benar seperti hukuman. Aku merasa tak nyaman. Aku berdoa kepada Tuhan agar hal buruk tak pernah menimpa kami selama acara perpisahan ini.
Oh, ya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Anindira. Salah satu siswa SMA Negeri 2 Kota. Aku dan kawanku, siswa kelas XII Bahasa, hari ini akan melakukan pesta perpisahan kelas. Kami terdiri dari 30 orang. Semua warga sekolah mengatakan bahwa kelas kami adalah kelas "buangan" karena kami adalah anak-anak penyuka bahasa dan sastra. Tak ada masa depan untuk bahasa di negeri ini. Bahkan, wali kelas kami, Pak Indra, kerap berkata bahwa jurusan bahasa di sekolah kami ini akan ditutup tahun depan karena beberapa pejabat terkait kurang tertarik dengan jurusan yang dianggap "sia-sia" ini. Ditambah, siswa yang mendaftar di sekolah kami, jumlahnya sedikit.
Namun, menurutku anggapan bahwa kelas kami adalah kelas buangan itu adalah salah. Aku sangat menyukai bahasa Jepang, bahasa Inggris, sastra Indonesia, dan kesenian. Menurutku sisi humanis manusia memerlukan hal tersebut untuk tetap hidup. Waktu aku ditanya oleh seorang penilik sekolah, aku berkata bahwa jurusan bahasa adalah jurusan yang penting. Namun, penilik sekolah itu sepertinya kurang setuju dengan apa yang kuutarakan. Ia berkata bahwa jurusan bahasa itu kurang diminati dan sudah banyak sekolah menghapus jurusan bahasa! Kata bapak tua botak itu dengan tingkah yang angkuh. Menurutku, sikap itu tak pantas dimiliki oleh pejabat atau pemimpin negara karena faktanya, semua ilmu itu penting.
"Anin, ini minyak kayu putih. Borehin di perutmu, deh. InshaaAllah cepat lega. Mual pasti berkurang," asumsi Mae kepadaku.
Aku menerima angsuran tangannya sambil tersenyum. Dia sepertinya tahu bahwa aku sedang kalut.
"Pasti ini ada kaitannya dengan firasatmu, ya," bisik Mae pelan. Wajahnya kelihatan agak cemas dan memandangku dengan pandangan sendu. Aku pun tak tega dengan caranya memandangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Elang
General FictionAnindira Sasikirani adalah seorang gadis yang tak mampu meneruskan perkuliahan karena alasan biaya. Secara tak sengaja, ia menemukan pekerjaan yang cocok dengan hobinya, yaitu diving. Setelah dinyatakan lulus ujian, ia masuk ke dalam Tim Elang, TIM...