[15]

3.1K 281 19
                                    

Nagita berangkat ke kampus dengan semangat empat lima. Sepatu kets dan tas ransel besar menjadi andalannya kali ini. Gadis itu mencepol rambutnya tinggi-tinggi.

Setelah tiba di kampus, Nagita berjalan dengan cepat ke jurusan komunikasi. Kepalanya celingak-celinguk mencari seseorang. Lalu dia mencoba bertanya ke sebuah kelas yang sepertinya sedang menunggu kehadiran dosen.

“Ada yang tahu Jupri di mana?” tanya Nagita kepada beberapa cowok yang duduk di dekat pintu. Mereka kelihatan bingung dan plangak plongok menatap temannya satu sama lain.

“Emang di kampus kita ada yang namanya Jupri? Kayak nama engkong gue,” kata cowok yang berlogat Betawi yang terlihat berpikir.

“Maksud gue lo pada ada yang lihat Juventus nggak?” koreksi Nagita. Gadis ini terlalu senang memberikan nama panggilan kepada temannya seenak udel.

“Juven yang anak tivi?” tanya cowok yang paling putih di antara mereka.

“Iya anak tivi. Dia lagi ke mana?” tanya Nagita. Lalu para cowok itu melihat ke pintu kelas yang dibelakangi Nagita.

“Ngapain lo nyari gue?” tanya sebuah suara bass yang kedengaran seperti kaleng rombeng bagi telinga Nagita.

Nagita berbalik dan menemukan sosok raksasa yang tinggi menjulang di depannya. Cowok itu mengenakan jaket kulit hitam dan kaca mata rayban
Songong banget gaya nih anak. Batinnya.

“Gue perlu sama elo!” jawab Nagita.

“Masih mau berurusan sama gue?” tanya cowok itu.

Nagita menggeram kesal. Kalau bukan karena hal yang mahapenting, ia ogah bertatap muka dengan raksasa sok ini. Nagita biasanya selalu menghindari si Jupri. Cowok yang bernama Juventus aka Jupri ini adalah biang masalah. Dia magnet kesialan bagi Nagita. Tetapi entah mengapa Nagita selalu berada dalam situasi yang mengharuskannya bertemu si Jupri. Lelaki satu ini tidak pernah memperlakukan Nagita layaknya perempuan dewasa. Ia selalu menganggap Nagita anak kecil.

“Bisa?” tambah Nagita.

So akhirnya lo mau ngomong sama gue?” tanya Juventus.

Nagita memutar bola mata. Ia memantrai dirinya untuk sabar menghadapi cowok glonggongan bule ini. Nagita harus berhasil melaksanakan misinya.
Dengan senyuman dipaksakan, Nagita menangkup kedua tangannya di depan dada. Plis ucapnya memberikan isyarat.

“Ayo.” Juventus menarik tangan Nagita ke parkiran.

“Kita mau ke mana?” tanya Nagita sangsi.

“Ke suatu tempat yang enak buat ngomong.”

“Bisa bicara di taman kampus aja. Aku ada kelas sebentar lagi,” mohon Nagita. Terlambat karena Juventus sudah menjalankan mobilnya ke luar gerbang.

Nagita mendengkus pasrah. Dia terpaksa ikut. Terpaksa bolos di kelas yang nilainya saja sudah berada ujung tanduk.

Mereka tiba di sebuah cafe yang lumayan sepi.

“Aku mau nanya soal ehm terakhir kita ketemu di kafe malam itu,” mulai Nagita.

Bukannya menjawab, Juventus memanggil pelayan kafe dan menunjuk beberapa makanan di buku menu. Nagita terpaksa mengurungkan maksudnya. Selanjutnya Juventus sibuk dengan makanan di hadapan mereka. Nagita menunggu dengan sabar sampai Juventus menyelesaikan makanannya.

“Nggak makan nggak ngomong,” cetus Juventus.

Nagita mulai menyendok makanannya. Setelah merasakan kenikmatan sajian itu, Nagita pun jadi lupa bahwa sebelumnya ia tidak berniat untuk makan. Begitu menyadari semua makanan untuknya sudah habis, gadis itu tak berani lagi menegakkan kepalanya.

Hino (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang