"Ric, lo mau kemana?"
"Hongkong!"
"Serius woy, lo mau ke mana? Gue bisa anterin."
"Gak perlu, gue bisa sendiri."
Aku tetap terdiam melihat langkahnya yang kian menjauh. Dia Alaric, aku biasanya memanggilnya Ari, tapi teman-temannya senang sekali memanggilnya dengan nama ale-ale, minuman seribu rupiah yang banyak rasanya. Bukan tanpa sebab Ari dipanggil seperti itu. Dulu, saat kami menjadi siswa baru di SMK D'Pratiwi 01 dia adalah sosok yang sangat mencolok diantara siswa lainnya. Tinggi badan yang lebih tinggi dari Kakak senior membuatnya terlihat sangat dominan. Bola mata hitam yang sangat meneduhkan bagi siapa pun yang bersitatap dengannya. Gaya rambut depannya yang jatuh membuat beberapa siswi penasaran dengan keseluruhan wajah. Kulit kuning langsatnya yang berbeda dari kebanyakan siswa lainnya, bisa dibilang dia adalah cowok paling putih seantero sekolah. Dan terakhir, alasan Alaric dipanggil ale-ale adalah karena minuman seribu rupiah dengan merek ale-ale yang tak pernah lepas dari genggaman tangannya, kecuali pada jam pelajaran.
"Dia mau kemana, Ci?"
"Mana gue tau, kan Lo yang dari tadi sama dia!" ketusku.
Entahlah, selalu saja aku tak bisa bicara santai jika dengan dia, Alderic namanya. Teman Alaric yang biasa kupanggil Eric karena memang begitulah dia dikenal sejak SMP. Akan tetapi, teman-teman selalu memanggilnya Derik. Katanya, agar tanpa langsung mengatai dia sebangsa dengan hewan. Dia memang sosok yang supel dan mudah berteman, tapi tingkat keingintahuannya yang sangat tinggi membuat beberapa teman malas meladeninya, termasuk aku. Berbeda dengan Alaric yang menjadi pujaan wanita sekolah, Eric selalu dinistakan oleh kaum wanita. Katanya, dia adalah cowok yang biasa-biasa saja, rambut yang selalu berantakan, baju yang setia dikeluarkan, dan kalung imitasi berlambang bulan sabit membuat dia tak disukai. Namun, terlepas dari penampilannya itu, dia adalah sosok teman yang baik. Iris mata yang selalu menenangkan dan sikapnya yang sering menjadi pencair suasana adalah nilai plus untuknya.
"Hayo, Lo lagi mikirin gue, ya?"
"Enggak ya, jangan kepedean, sana balik aja!" jawabku, ketika Eric tiba-tiba bertanya.
"Halah, kebiasaan banget boong, neng? Gak baik loh," ucapnya dengan memainkan alis di akhir.
Aku hanya berdecak, lalu kembali fokus pada novel yang sedari tadi terbuka. Bagiku, membunuh waktu sendiri di kelas dengan membaca novel adalah hal yang paling menyenangkan, daripada harus berkoar—menggombali adek kelas— bersama yang lain di luar.
"Ci!" Eric kembali memanggil. Namun, aku tak peduli.
"Cia!"
"Woy, astaghfirullah, Ci!"
"Nyaut napa Ci, penting nih."
"Apaan Ric, brisik tau gak?!" balasku kesal.
"Nah, gitu dong. Gini, Lo kan agak deket tuh sama si Rara—"
"Terus?" potongku cepat.
"Diem dulu Ci, gue belom selesai ngomongnya." Aku hanya bergumam. "Lo tau gak si Rara lagi suka sama siapa?"
"Lo ... suka sama Rara?" tanyaku spontan.
Namun, bukannya menjawab Eric malah menelungkupkan kepalanya di atas meja. Tentu saja hal itu membuatku bingung dan rasa penasaran muncul di pikiran detik itu juga. Tanganku sudah bersiap menggoyangkan lengannya, tetapi urung ketika sebuah suara yang tak asing sampai di telingaku.
"Eh, Rara, ada apa?" tanyaku.
"Tadi telinga gue panas, kayak ada yang lagi ngomongin di belakang gitu. Eh, pas dicari ternyata dari sini. Kenapa?" jawabnya, langsung membuatku mengerti dengan sikap Eric.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Perbedaan
Teen Fiction"Gue cinta, tapi sayang Lo terlalu tinggi untuk gue gapai." ~Alicia "Kenapa harus lihat bebet sama bobotnya kalau emang kita saling cinta?" ~Alaric