***

26 1 2
                                    

Dongeng dari Masa Lalu

Setelah siap, aku bergegas pergi ke rumah nenek untuk mengunjunginya barangkali ia merasa merasa bosan membunuh waktu sendirian. Namun, sebelum aku sampai ke rumah nenek, aku memutuskan melipir ke halaman rumah super luas yang disulap menjadi kebun mawar putih berkelopak besar dan berdaun hijau segar milik Pak Kumis. Pak Kumis bermata bulat, namun sesekali matanya terlihat sipit karena tertarik pipi kanan dan pipi kirinya ketika ia tersenyum.

Beliau mengizinkan siapa saja memetik bunga-bunganya, karena setahuku, ia mengartikan bunga sebagai bentuk kasih sayang yang tidak bisa disimpan seorang diri. Harus dirawat biar indah dan dibagikan agar orang-orang turut merasa bahagia, terlebih, konon bunganya tak akan habis, kurang lebihnya begitu yang aku dengar.

Aku menyapa Pak Kumis yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri sambil meminta izin untuk memetik setangkai dua tangkai mawar putih.

"Untuk nenekmu ya?"

"Iya pak" jawabku.

Pak Kumis tersenyum, dan lagi-lagi aku kembali melihat mata sipitnya, lalu Pak Kumis meninggalkanku memilih.

Selesai memetik beberapa tangkai mawar, aku izin pamit dan bergegas ke rumah nenek.

"Assalamualaikum" teriakku dari depan pintu sambil  bergegas masuk.

"Waalaikumsalam"

Aku menyalami dan memeluk nenek, dan langsung memberikan mawar putih yang ku petik tadi.

"Wah, tadi ke rumah Pak Kumis dulu, Lan?" tanya nenek sambil berjalan menuju dapur untuk memasukan mawar-mawar itu ke dalam vas. Aku mengangguk sambil membunti nenek ke dapur.  "Hoho.. duduklah, nenek akan siapkan kukis kesukaanmu"

"Asyik"

Rumah nenek rapi, bersih, dan nyaman. Halaman belakang rumah nenek juga tidak kalah indah dengan kebun Pak Kumis, ada berbagai macam tumbuhan berdaun tinggi dan lebar dengan berbagai bentuk yang tak ku tahu namanya. Sesekali aku berpikir hebat sekali nenek, Pak Kumis, atau orang-orang yang bisa berkebun dan kebunnya tumbuh subur ditumbuhi tanaman yang indah-indah.

"Nek, ceritakan kembali cerita sewaktu aku bayi dong, cerita ajaib itu loh" kataku sambil menyantap kukis coklat di bangku teras menghadap halaman belakang rumah nenek.

"Kamu tidak bosan mendengar cerita itu melulu?"

"Ah mana bisa aku bosan, cerita itu seperti dongeng, ajaib"

Terdengar tawa tipis khas nenek yang berarti mengiyakan "hoho"

"Yah.."

"Jadi sekitar dua puluh tahun lalu, anakku Maria pindah ke rumahku karena suaminya kerja keluar kota. Maria tidak datang sendiri melainkan bersama seorang bayi perempuan berpipi tembam, berambut tebal, berumur lima bulan, bernama Bulan" nenek tersenyum melirikku.

Nenek bercerita mengenai aku yang merupakan cucu pertamanya bermata cantik, beralis tebal, dengan wajah bundar dihiasi tahi lalat di ujung alis sebelah kiri. Kata nenek tak lama setelah pindahnya mama ke rumahnya aku jatuh sakit, tepatnya muntaber, yang terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit dan harus dirawat selama beberapa hari padahal saat itu mama tidak terlalu memiliki banyak cadangan uang untukku berobat. Jarak rumah sakit sekitar delapan kilo dari rumah, jauh. Jauh sekali, apalagi ditambah saat itu masih jarangnya kendaraan umum, lebih-lebih saat memasuki waktu magrib ke atas, mungkin terhitung tidak ada.

"Cucuku Bulan tiba-tiba saja terkulai lemas di kamar rumah sakit. Di hari ke tiga kamu di rawat, bapakmu akhirnya datang setelah izin bekerja dari luar kota. Dia datang dengan tergesa menenteng travel bag yang terlihat kurus kosong tanpa isi. 'Bagaimana keadaan Bulan?' tanyanya ke arah Maria, ibumu, sambil salam kepadaku. 'Bulan sudah tidak muntaber lagi pah, tapi Bulan masih lemas, tidak bisa minum susu, jadi diinfus' jawab ibumu. 'Apa tidak apa-apa?' 'Doakan saja pah' jawab ibumu lemas"

Cerita dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang