02. Ayo, Cerita! (2)

131 33 2
                                    

Yuuta pikir, menghubungi mantan istrinya adalah suatu kekalahan. Dia tidak akan menghubungi mantan istrinya lagi, itu sumpahnya. Namun ternyata, hubungan ibu dan anak tidak bisa dipisahkan begitu saja. Yuuta tidak bisa membuat Shotaro tidak membutuhkan sosok ibunya. Shotaro membutuhkannya, tidak peduli apa yang menyebabkan orang tuanya untuk berpisah.

Rasanya sudah lama sejak dia melihat wajah anaknya yang bahagia dan suaranya yang ceria. Yuuta berpikir untuk mengurangi jam kerjanya di salon miliknya, lagipula di sana sudah ada orang yang dapat dipercaya. Mungkin, dia hanya perlu waktu sedikit lebih banyak dengan Shotaro. Berdua dan berbicara. Memang benar, semuanya terasa lebih sulit saat harus dijalankan sendiri.

"Sho," panggil Yuuta pelan. Dia mengambil ponselnya dan menyimpannya, Shotaro sudah selesai bicara dengan ibunya. "Seneng?" tanyanya, masih dengan pelan dan Shotaro menjawabnya dengan anggukan antusias. "Nanti kalo mau telepon Mama lagi, bilang Papa ya. Terus, kalo sekolah libur nanti kita ke Jepang buat ketemu sama Mama, terus ketemu Kakek sama Nenek."

"Bener Pa?"

"Bener."

Yuuta tidak tahu sebenarnya apa yang sudah dilakukannya selama ini. Kenapa dia tidak menaruh perhatian lebih kepada anaknya selama ini? Yuuta benar-benar tidak tahu. Tapi dia tidak menyesal meski memulainya terlambat. Daripada tidak sama sekali. Begini lebih baik.

"Papa, makasih...." Shotaro tersenyum lebar, matanya tenggelam oleh pipinya yang terkembang.

Tangan Yuuta mengusak kepala Shotaro dengan pelan. Betul, mereka hanya butuh cerita satu sama lain. Bukan yang lain. "Tadi, di sekolah ngapain aja?"

"Ngobrol sama Bu Guru."

"Oh ya? Ngobrolin apa itu?"

"Papa kepo deh...."

"Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu???"

"Hyuck yang suka ngomong kayak gitu."

"Hyuck yang papanya artis ya?"

"Iya! Tapi kasian Pa, Hyuck suka lama dijemputnya. Kapan-kapan boleh enggak Hyuck main ke sini?"

"Boleh."

Hatinya anak. Senyuman anaknya malam ini adalah yang paling membahagiakannya. Yuuta ingin sekali menangis. Tapi dia tidak akan menangis di depan anaknya. Mungkin nanti, dia akan menangis. Orang-orang bilang kalau punya anak itu adalah anugerah dan Yuuta bisa setuju dengan itu sekarang.


-o-


Berdiri di depan pintu kelas dan menyambut satu per satu murid yang datang sudah menjadi kebiasaan. Menyapa dengan wajah ramah dan senyuman yang lebar dilakukan seolah bukan masalah. Anak-anak itu memberinya energi, seperti biasa. Ibu Guru tidak mengeluh sama sekali selama bekerja.

"Ibu Guru!" Suara yang takasing itu didengarnya lagi. Yuuta, ayah Shotaro, tentu saja dia datang untuk mengantar Shotaro. "Makasih. Berkat saran dari Ibu, kemaren saya jadi ngobrol banyak banget sama Sho. Makasih...." Yuuta mengulangi kata terima kasih beberapa kali. "Kalo enggak keberatan, apa Ibu mau ikut makan malam sama saya dan Sho? Sebagai ucapan terima kasih."

"Enggak usah," jawab Ibu Guru pelan. "Sudah tugas saya untuk menjembatani antara orang tua dan anak. Selain itu, saya takut nanti dikira saya menerima suap." Ibu Guru menjelaskannya dengan sebuah senyuman.

Yuuta mengangguk, memahami pilihan Ibu Guru untuk tidak menerima tawarannya. "Saya enggak tahu harus apa kalo enggak ada Ibu Guru. Selanjutnya, saya bakal banyak ngobrol lagi sama Sho. Makasih, Bu Guru."

"Buk an karena saya," kata Ibu Guru, "tapi karena Bapak sendiri. Kalau dari awal Bapak enggak kepengen untuk deket sama Sho, sampe sekarang juga bakal sama aja. Jadi memang bukan karena saya."

"Sekali lagi, makasih, Bu Guru."

"Iya, Pak."

Kids Do Have ProblemsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang