Gelapnya malam tak mampu menutup luka. Derasnya hujan hanya menutup air mata yang terus berjatuhan. Memang berat, menunggu seorang diri dengan usia sudah layak untuk menikah. Lebih-lebih, berkat beberapa ujian, acara sakral yang hampir terlaksana harus ikhlas diterpa oleh nestapa.
Bayangan seakan kembali melayang pada masa berat dua tahun silam. Kenangan pedas itu belum berhasil lenyap sepenuhnya dari alam bawa sadar gadis tembam yang selalu berusaha ceria, di depan semua orang.
"... Qila, maafkan aku harus mengakhiri hubungan ini."
Secuplik kalimat yang mungkin sampai akhir hayat pun tak akan dilupa, beserta perihnya luka tak berdarah dan setiap tarikan napas dengan sederet beban yang sudah terlukiskan.
"Sabar, Yah. Qila juga masih berusaha," jawabnya disela derasnya hujan yang terus mengguyur. Dingin, bahkan rasa itu terus merasuk sampai tulang belulang dan relung hati terdalam.
"Mampukah?"
"Maafkan Ayah yang belum bisa membantumu. Maafkan kami, Nak. Jika selama ini sering membuatmu terbebani. Tapi ...."
Bruuuaakkk ...
Sebuah truk panjang berhenti di tengah jalan dalam keadaan bermuatan. Otomatis semua barang terjatuh dan memenuhi jalan raya, termasuk beberapa pengguna jalan yang sedang melintas.
Senyap, sunyi, semua terasa sepi dalam gelap yang semakin gelap. Gadis itu tak mampu lagi mengingat di mana dirinya kini, bagaimana kondisi ayahnya dan apa yang telah menimpa mereka.
****
Bu Darsih berlari tergopoh depan resepsionis Rumah Sakit Adinda. Bibirnya bergetar, mata sembab, tangan tak hentinya saling mengelupas kulit kering sekitar kuku, "Ba ... bagaimana kondisi keluarga saya, Sus?"
Wanita berseragam rumah sakit setempat menampilkan wajah tenang, "Atas nama siapa, Ibu?" ucapnya dengan bumbu senyum, menyapa setiap pasien dan keluarganya yang memghampiri meja resepsionis.
"Kor ... korban kecelakaan beberapa jam yang lalu."
"Tenang, Bu. Insyaallah semua baik-baik saja." Lelaki bertubuh jangkun mengelus pundak Bu Darsih. Meski dibuat setenang mungkin, tetap ada gores khawatir yang tergambar di wajah tampannya.
Suster hanya berkedip beberapa saat, seperti mengolah kata agar tepat sampai di telinga keluarga pasien.
"Di ... di mana, Mbak?!" bentak Bu Darsih disela tenaganya.
Lelaki itu kembali mengelus pundak Bu Darsih, "Di mana, Mbak?" ucapnya datar penuh wibawa. Meski tak ada senyum di wajah, tapi aura dari sorot mata mampu mengobrak-abrik hati para wanita.
Gadis itu sedikit menjinjit, mengulurkan telapak tangan, "Silakan Bapak lurus, di perempatan, anda belok kiri. Hanya ada satu ruangan, Pak di sana."
"Terima kasih, Sus," ucapnya tanpa bertanya lagi. Dia menuntun Bu Darsih ke ruangan yang di maksud petugas.
****
Aqila membuka mata perlahan setelah beberapa jam yang lalu terbaring di brangkar dengan berbagai alat bantu pernapasan.
"Di ... di mana ini?" bisiknya pada siapa saja yang bisa mendengar. Percuma, tak ada seorang pun yang bisa mendengar suara lirih itu.
"To ... tolong ...." teriakan bagi Aqila, tapi seperti bisikan nyamuk bagi orang-orang di ruangan yang semuanya terpasang alat bantu hidup. Beberapa dokter memakai baju steril asyik berbincang satu sama lain.
Tak ada tanggapan atau sapaan dari siapapun. Bayangan Aqila merayap pada kejadian itu, kejadian yang tak bisa diingatnya dengan jelas hal apa yang terjadi setelahnya, dan permintaan itu membuat dada Aqila semakin sesak.
Bersamaan dengan menangisnya Aqila, EKG yang tadinya terpasang baik-baik saja tiba-tiba bunyi dan menunjukkan pergerakan tensi yang semakin menurun, saturasi oksigen dalam tubuh pun hanya 70% sedang oksigen dengan tekanan tinggi telah terpasang di hidung dan mulut Aqila.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANTIMU DALAM DOA
SpiritualKamu, sebongkah harap di masa lalu. Tak banyak inginku, cukup duduk berdua denganmu dan melanjutkan sisa hidup dalam ketaatan. *Aqilah Atmaja* #Rank 1 memilih [15 s/d 18 Februari 2021] #Rank 2 dilema [18 s/d 09 Maret 2021] #Rank 1 menanti [15 Febru...