If Only

97 4 0
                                    

-typo komen saja-

Lily kembali menatap ke jalanan, sambil mendongakkan wajahnya ke atas, menghalangi darah yang mulai mengalir dari hidung bangirnya. Kepalanya semakin pening, lebih menyakitkan dari yang biasanya ia rasakan.

Tangannya yang tidak memegang hidung, merogoh ponsel di tasnya. Setelah mengetik sebuah nomor, ia mendekatkan ponsel ke telinganya.

Terdengar nada sambung, sebelum seseorang menjawab dengan ketus. "Kenapa lagi?"

"K-kamu di mana?" tanyanya pelan.

"Hah? Gak kedengeran!"

Lily tak lagi menahan darah di hidungnya, menarik napas panjang lalu berbicara dengan sedikit keras. "Kamu di mana Ram?"

"Lagi nemenin Laila di rumah sakit, kenapa lagi?"

"Bisa jemput aku?"

Rama berdecak di seberang sana. "Bentaran aja gak usah manja gak bisa ya?!" ketus Rama.

"Sahabat lo lagi cuci darah, dan lo malah nyuruh gue jemput lo!" Kepala Lily semakin sakit. "Ada banyak taksi di sana!" sambung Rama.

"T-tapi Ram--" belum sempat Lily menyelesaikan kata-katanya, Rama telah menutup teleponnya dengan kasar.

Lily kembali memegang kepalanya yang semakin menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi.

"Aku sayang kamu Ram," lirihnya sebelum tubuh mungil itu ambruk di atas kursi tunggu tempat lesnya.

***

Beberapa bulan kemudian...

Laila menatap nanar pusara di bawahnya, berulang kali ia mengusap air matanya yang selalu mengalir saat menatap tempat peristirahatan terakhir sahabatnya.

Sahabatnya yang rela mengorbankan apapun untuk dirinya yang egois. Cinta, keluarga, bahkan tubuhnya sendiripun diberikan Lily secara percuma untuknya.

Untuk seorang Laila yang egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain.

Hanya karena mengetahui bahwa ia mengidap penyakit gagal ginjal, ia lantas memvonis bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Ia meminta segalanya yang diinginkannya dari Lily. Meminta Rama, kasih sayang orang tuanya, bahkan kini ginjal Lily pun kini bersarang manis di tubuhnya.

Dan Lily memberikan semua itu secara sukarela.

Leukimia. Penyakit yang selama ini disembunyikan oleh Lily selama empat tahun lamanya. Lily menyembunyikannya dengan sangat baik, bahkan kedua orang tuanya pun tidak tahu.

Lily membutuhkan Rama, membutuhkan kasih sayang orang tuanya, namun dengan egoisnya ia merengut semua itu dari Lily.

Semakin deras air matanya mengalir, semakin sering pula ia mengusapnya. Ia tidak akan membiarkan air matanya itu jatuh ke atas Lily. Seperti pesan Lily padanya.

Rama mengeratkan rangkulannya pada Laila, ia juga sesekali mengusap matanya yang berair. Cinta pertamanya, tertidur pulas di bawah sana. Cinta pertama yang tidak akan pernah tergantikan, bahkan dengan Laila sekalipun.

Menyesal? Yang Rama rasakan lebih besar dari itu. Ia telah membiarkan Lily menghadapi penyakitnya sendirian. Ia bahkan marah kepada Lily saat Lily dengan mudahnya memintanya untuk mencintai Laila dan melupakan Lily. Padahal Lily tau bahwa Rama hanya mencintai dirinya.

Rama marah pada dirinya sendiri. Andai saja saat itu ia lebih peka dengan apa yang terjadi pada Lily, mungkin saat ini ia masih bisa melihat Lily berdiri di dekatnya.

Lily sering mimisan, mudah kelelahan, bahkan sering pingsan, namun itu tidak membuat Rama curiga sedikitpun terhadapnya. Entah Lily yang terlalu pintar menyembunyikan sesuatu. Atau Rama yang lebih bersikap bodo amat, asalkan Lily masih bersamanya.

"Bisa jemput aku?"

Suara lirih itu sering terngiang di telinganya, membuat penyesalan dan kemarahannya semakin menjadi-jadi.

Andai saja saat itu ia lebih peka.

Andai saja saat itu ia menerima permintaan Lily.

Andai saja saat itu ia menjemput Lily.

Lily pasti masih berdiri di tempat yang sama dengannya, masih menghirup udara yang sama, masih menatap langit yang sama, masih bisa bersamanya.

.
.
.

Next??

Short Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang