Luka Lama

0 0 0
                                    

Ini adalah cerita lama yang seharusnya sudah ku kubur dalam-dalam, cerita tentang bagaimana sulitnya memilih untuk mengikuti otak atau mempercayai hati. Kisah yang tidak lebih indah dari Romeo dan Juliet, tidak pula semanis cerita remaja Galih dan Ratna. Kisah ini, dibuat dengan dia dan caranya sendiri.

Waktu itu, lebih tepatnya enam tahun yang lalu, saat aku sedang menjalani tahun pertamaku di putih abu-abu. Aku yang masih belum bisa pergi dari kisah putih biruku. Aku yang masih menyisakan luka karena kehilangan teman sekaligus cinta pertamaku. Dan sialnya lagi, putih abu-abu membawaku bertemu dengan dia lagi.

Tetapi, di tempat ini juga, aku bertemu dengan seseorang yang akan menyihirku dan mengisi hari-hariku. Dia laki-laki berkacamata, postur tubuhnya tinggi, yang dengan entah bagaimana caranya bisa menyembuhkan ku dari luka lama yang bahkan wujudnya masih ada di depan mata.

 

Hai, namaku Almira Dwiananda Faraha. Seharusnya, aku adalah anak kedua dari dua bersaudara, tetapi kakakku harus pergi bahkan sebelum aku lahir ke dunia. Nama kakakku Dhea Marwatami, dia adalah wanita yang cantik dan lemah lembut, berbanding terbalik dengan adiknya. Seandainya dia masih ada, aku yakin setiap hariku akan lebih berwarna karena punya teman cerita sekaligus penenang di kala sedih. Aku hidup di keluarga yang sederhana. Ayahku bekerja di salah satu perusahaan swasta dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Mungkin segitu aja kali yaa sedikit perkenalan dari aku, sisanya nanti kalian bisa tau sendiri dari bagaimana aku dan seperti apa ceritaku.

"Mah, aku berangkat yah", ucapku sambil menyalami tangan ibuku.

"Uang jajan masih cukup kan? Ini bekalnya jangan lupa di bawa dong", jawab ibuku sambil memberikan sekotak nasi goreng dan telur, bekal simpel yang pasti sering dibawa sama anak sekolahan.

"ohiya lupa hehe, uang cukup kok, dah aku berangkat yaa, Assalamu'alaikum", ku ambil bekalku, lalu ku bawa sepatuku dan ku pakai di teras rumah. Setelah siap, tak lupa ku rapihkan sedikit jilbabku dan langsung meluncur karena ojek online pesananku sudah datang.

Sesampainya di sekolah, seperti sekolah negeri pada umumnya, akan ada pengecekan pakaian dan bersalaman dengan kepala sekolah serta guru-guru yang bertugas, apabila seragam tidak sesuai atau datang telat, yaa bisa dipastikan siswa itu harus minggir ke lapangan dan siap-siap namanya masuk di buku dosa.

"Raraaa, dah ngerjain pr fisika belom?", tanya Inarah saat aku baru saja memasuki kelas yang bertuliskan X MIA 4.

"Gue semalem frustasi banget ngerjainnya, susah banget gak tau nanti maju gimana", ucap satu temanku yang lainnya, namanya Luna. Aku dan Luna sudah kenal dan berteman sejak SMP sedangkan bersama Inarah baru kenal saat masuk di SMA. Luna adalah perempuan kalem yang irit ngomong, dan to the point. Bahkan to the pointnya kadang terkesan sarkas dan tajam. Berbanding terbalik dengan Inarah, perempuan itu suka sekali berbicara. Banyak hal yang dia ceritakan, hidupnya terlihat selalu bahagia dan tertawa, tapi sebenarnya ada hal pahit yang sedang dia sembunyikan.

"Gila banget raa, udah kaya diputusin cinta gue semalem ngerjain fisika, pake nangis segala! Nyokap sampe nanya gue kenapa, sampe disuruh minum panadol, parah banget kan", cerita Inarah mengingat betapa sulitnya 50 soal fisika dari sebuah buku tebal yang entah kenapa harus diterbitkan untuk menyiksa kita semua.

"Lebay cengeng", siapa lagi yang sarkas kalau bukan Luna. "udah gak usah berantem lu pada. Bawa spidol tiga warna lebih gak? Gue lupa banget nih, cuman ada satu", memang tradisinya, ketika diajar oleh guru fisika yang satu ini, semua murid wajib membawa spidol 3 warna supaya bisa membedakan katanya, entahlah sampai detik ini pun aku masih bingung faedah dari membawa 3 spidol warna itu.

"Yah gue cuman bawa tiga, noh si Luna bawa kali kan anak rajinnya pak Mo"

"Rajin apaan, bawa nih tapi udah gak nyata", Luna membuka kotak pensilnya lalu menyerahkan dua spidol papan tulis berwana biru dan merah.

"gapapalah, yang penting keliatannya bawa 3 warna, ga dicek ini nyata apa kaganya". Setelah itu kami bertiga fokus dengan kegiatan masing-masing yaitu main hp. Inarah yang lagi buka olshop, Luna yang lagi balesin chat dan aku sendiri yang lagi scroll instagram.

Kring...kring...

Tak terasa 4 jam pelajaran Bahasa Indonesia sudah dilewati dengan kantuk dan bosan yang selalu menghinggapi mata. Setelah bel berbunyi, pak Jamil, guru Bahasa Indonesia, mengakhiri kelasnya dan keluar kelas, disusul dengan anak-anak lainnya yang juga keluar kelas karena ingin ke kantin mengisi perut mereka yang sudah keroncongan.

"Lun, Ra, kantin yuk. Gue pengen mie goreng jumbo mbak min", Inarah langsung membalikkan badannya ke belakang setelah merapikan buku tulis Bahasa Indonesianya.

"yuk deh, gue juga mau beli jus alpukat di bawah. Ra, ikut ga?"

"gak dulu deh, gue bawa bekal. Tapi lu berdua bawa makanannya ke kelas aja ya, gabut gue makan sendirian", setelah menganggukkan kepala, Inarah dan Luna langsung ke kantin meninggalkan aku dan beberapa anak di dalam kelas. Ku ambil bekal dari ibuku, tapi tidak langsung ku makan, karena menunggu dua makhluk yang tadi pergi ke kantin balik, males banget makan sendirian ya kan?

Tak lama menunggu, dua makhluk beda perilaku itu balik ke kelas dengan tentu saja Inarah yang ngoceh dan Luna yang menanggapinya dengan singkat dan muka yang flat. "Raraa anjirr lu harus denger cerita gue, tadi di kantin si itu manggil gue kan terus dia kaya sok asik banget manggil guenya terus temennya pada ketawa-ketawa gitu males banget kan".

"Makan dulu lu, keselek aja", Luna masih dengan muka watados dan sarkasnya, menjawab cerita panjang Inarah yang super excited. "diem dah lu, Rara kan ga ikut ke kantin tadi. Tapi sumpah ya Ra me.."

"Assalamu'alaikum, permisi, boleh masuk ga?", saat aku melihat siapa yang di depan kelas, seketika tubuhku gak bisa digerakkan, bener-bener kaku. Dia, yang dulu pernah sedekat nadi namun sekarang sejauh matahari, yang dulu menjadi tempat bersandar dan sekarang bahkan melihatku saja dia gak mau.

"masuk aja Syid, ada apaan emang?", jawab teman sekelasku yang lain. Aku masih diam, hanya bisa melihat dia yang mulai memasuki kelas dengan beberapa temannya yang ikut di belakangnya, tentu saja aku tidak peduli tentang teman-temannya, karena mataku hanya tertuju ke dia, cinta pertama sekaligus sakit hati pertamaku.

"Ra Ra, Rasyid Ra!", dia Ahmad Rasyid Wijaya, cinta pertamaku sejak aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Dia, adalah orang yang selalu ada buatku saat itu, namun dia juga yang meninggalkanku dengan sakit hati ini, tanpa aku tau alasan dia menjauh seperti sekarang.

"Sorry, mau nyampein dari OSIS, jadi kita mau buat event kecil-kecilan, waktunya sebentar lagi sekitar dua mingguan lagi. Yang mau join bantu-bantu di event ini, bisa hubungin gue atau temen-temen gue yang lain ya, atau kabarin anak OSIS di kelas ini aja, thank you", setelah itu dia berjalan keluar kelasku. Bahkan setelah satu tahun lebih kita saling diam dan saling menjauh, apa belum bisa membuatnya kembali seperti dulu? Tidak, mungkin waktu ini masih belum bisa membuat dia memaafkan kesalahan yang entah aku gak tau apa penyebabnya. Dia pergi tanpa melihat aku sedetik pun yang bahkan daritadi selalu menatap dia.

"itu siapa deh yang bareng Rasyid? Aneh banget gayanya"

"itu Bina, katanya sih gak pernah ngobrol sama cewek jadi gitu deh"

"si Bina aneh itu?", seketika banyak sautan dari beberapa teman sekelasku, sejujurnya aku tidak terlalu mendengar siapa yang sedang dibicarakan dan tidak peduli tentang itu, yang aku pedulikan sekarang adalah menetralkan jantung dan hati yang kembali mengingat masa-masa itu.

"udahlah move on aja. ngapain cowo gak jelas, sok kegantengan masih lu harapin?", Inarah berucap sambil terus membaca novelnya. Memang sejak tadi, hanya Inarah yang tidak tertarik dengan kehadiran Rasyid dan teman-temannya. Inarah memang terkesan cuek dan jutek kalau menyangkut hal 'laki-laki'. Bisa dibilang sebenarnya banyak yang suka dengan dia, tapi karena cuek dan juteknya, banyak juga yang akhirnya memilih mundur.

"Apaansih, gue dah gak suka kali sama dia, males banget", bohong, aku masih mengaguminya, aku masih menunggu penjelasan dia yang sebenarnya. Aku masih berharap dia bisa kembali seperti dulu.

————— To Be Continue —————

AlmirafabinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang