Semenjak hari itu, luka yang sangat ku usahakan untuk sembuh, kembali terbuka. Rasa sayang sekaligus sakit itu datang kembali. Setiap malam, pikiran ini pergi melayang menuju masa-masa itu. Masa dimana aku dan dia masih menjadi teman dekat. Rasyid, nama itu yang selalu berhasil membuatku merasakan semua ini.
————
"Ra, dia udah minta maaf sama lu kan? Kemarin dah gue kasih tau dia", ucapnya yang langsung duduk di bangku kosong depanku.
"Gila lo ya! Kan udah gue bilang Syid, gak perlu kaya gitu, nanti makin panjang urusannya", ucapku sebal. Aku tau dia hanya mau membelaku karena kekasihnya kemarin memang cukup keterlaluan. Tapi tentu saja, karena itu, bukannya keadaan yang membaik, tapi justru pasti pacarnya bakal makin marah sama aku.
"Pokoknya kalo dia gitu lagi ke lu, bilang aja. Biar gue kasih tau lagi nanti"
.
."Ciee Rara, jam berapa sekarang Ra?", ucapnya dengan nada meledek. Aku yang baru saja dibelikan jam oleh ibuku, tapi dengan warna yang sejujurnya paling aku gak suka. Tapi mau tidak mau, aku harus pakai karena ini pemberian ibuku.
"Noh depan ada jam, mata lu buta?", ucapku sebal.
"Hahaha, siapa tau jam baru warna pinknya beda jam sama yang di depan", dia mengucapkannya dengan menaik turunkan alisnya, kemudian dia pergi karena tidak mau terkena pukulan dariku.
.
.
"Tulisin form futsal gue dong Ra, baik deh", ucapnya dengan senyuman sambil menyodorkan kertas bertuliskan 'Form Pendaftaran Anggota Futsal' dan pulpen hitam.
"Ginian aja muji lo!"
————Jika aku diberi waktu untuk bisa berbicara dengan dia sekarang, satu hal yang akan ku tanya, kenapa dia menjauh? Kenapa bisa dia seakan tidak pernah bertemu denganku? Kenapa bisa dengan cepat dia melupakan kedekatan pertemanan kita dulu?
Hari ini, setelah jam pulang sekolah, aku di kumpulkan di satu kelas karena mengikuti sebuah ekskul bernyanyi. Iya selama masa putih abu-abu, aku mengikuti beberapa ekskul dan kegiatan lainnya, Padus contohnya. Awalnya aku kira, kita akan ada latihan dadakan lagi, tapi ternyata kita dikumpulkan bersama dengan tim musik dari padus karena akan mengadakan konser pertama. Dan nantinya yang akan membantu dalam pembuatan konser ini, selain tim padus itu sendiri, ada OSIS juga tentunya.
Saat setelah semuanya berkumpul, termasuk kakak kelas dari ekskulku juga sudah berkumpul, di sanalah tercetus satu kalimat yang membuatku cukup kaget. "Selamat yaa, kalian masuk Osis karena kalian ikut Ekskul, ditunggu LDK nyaa".
Jujur, awal aku mengikuti ekskul itu, bukan karena aku ingin masuk OSIS. Aku hanya mengikuti hobi bernyanyiku yang cuman sekedar tau nada, gak ada kepikiran untuk aktif di OSIS.
Memang sih, sejak SMP, aku memang sudah aktif di organisasi, salah satunya OSIS ini. Tapi entah kenapa saat masuk SMA, aku tidak ingin mencoba hal-hal yang berbau organisasi, eh tapi kok malah kecemplung lagi? Tapi, yaudahlah udah terlanjur basah, berenang aja sekalian, iya kan?Setelah kejadian itu, setelah mendapatkan predikat sebagai calon anggota OSIS yang cukup mendadak, kita dipersilahkan untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang akan dilakukan OSIS kedepannya, terutama untuk persiapan konser nantinya. Saat mau gabung di sebuah forum diskusi, mataku tertuju pda seorang laki-laki berkacamata, dengan rambut potongan pendek, badan yang tidak terlalu berisi dan postur yang cukup tinggi. Dia adalah orang yang beberapa hari lalu ikut masuk ke kelasku bersama dengan Rasyid. Dia juga yang banyak dibicarakan tentang keanehannya oleh beberapa orang.
Tak lama ku perhatikan tingkah laku dan gerak geriknya. Menurutku, tidak ada yang aneh darinya, dia hanya laki-laki pendiam, sedikit sekali kata yang dia ucapkan. Tidak sedikitpun terlintas hal-hal yang dibicarakan orang-orang saat aku melihat dia sekarang. Tapi, siapa namanya? Dan kenapa dia sangat irit kata?
"Rara, lu mau ambil bagian dimana?", pikiranku dialihkan dengan ucapan Fian barusan.
"Gue ambil senbora aja deh, kan gue ikut ekskul seni, jadi lumayan bisa koordinasi", ucapku. Tak sengaja, saat sedang berbicara, mataku melihat dia yang juga sedang memperhatikan. Tidak ada rasa apapun, hanya seperti dua orang asing yang sepersekian detik saling lihat.
"Bina, lu di Pendidikan dan Budi Pekerti aja gapapa kan?"
"Iyee gapapa kok, gue bisa bunglon", ternyata orang itu namanya Bina. Kalau bisa ku deskripsikan sedikit tentang penampilannya, dia menggunakan kacamata, postur tubuh tinggi, badannya agak kurus, rambutnya pendek sesuai aturan sekolah, bajunya dia keuarkan dan celananya dia gulung beberapa senti. Dia memang tidak setampan Rasyid, tapi cukup lah. Atau mungkin karena sikapnya yang membuat dia tidak begitu terlihat?
Tetapi, satu hal yang ku sadari, karena itulah, aku dan dia berkenalan. Dan semenjak itu, ternyata akan banyak cerita lainnya tentang dia di hidupku.————— To Be Continue —————
KAMU SEDANG MEMBACA
Almirafabina
Teen FictionIni adalah kisah yang seharusnya sudah terkubur sangat dalam, tentang dia yang enam tahun lalu pernah mengisi hariku. Kisah bertemunya dua manusia di tempat yang seharusnya tidak ada "kedekatan" antara anak laki-laki dan perempuan. Kisah yang tidak...